☁35 - Remember

31 3 0
                                    

- "If you remember me, then I don't care if other people forget."-
Haruki Murakami

Aku meregangkan otot lengan sembari menekuk leher ke kiri dan kanan. Mata pelajaran jam pertama lumayan menghabiskan tenaga pikiran yang sadar atau tidak juga memengaruhi energi tubuh.

"Sal, ke kantin, kuy."

"Hm."

Setelah merapikan rambut di depan cermin, aku bergegas menyusul Dzaki. Melupakan fakta bahwa ada dua orang yang saat ini sudah menunggu di depan kelas.

"Kak Faisal!"

Aku enggan menjawab. Selain penat, memang malas merespons. Membiarkan Fiona dan seorang temannya membuntuti di belakang. Selama perjalanan ia terus saja mengoceh. Akan tetapi, sebisa mungkin aku tidak menanggapinya sebagai ‘rencana’ yang waktu itu aku katakan pada Kayla.

"Kak, aku lagi kesal tau enggak. Masa teman kakak yang cewek ngelabrak aku. Dia ngata-ngatain aku ganjen padahal cuma PDKT."

Fiona terdengar seperti menekan kata ‘teman’. Sudah pasti yang dia maksud adalah Kayla.

"Terus aku bilang supaya dia enggak dekat-dekat ke kakak karena kelihatannya dia masih suka sama kakak. Kan, sudah jadi mantan."

Aku mendelik begitu mendengar ucapan Fiona. Bukan tentang fakta bahwa ia tahu Kayla mantanku, melainkan kaget kala mendengar ia bicara terang-terangan begitu. Bahkan Dzaki yang biasanya tukang respons mendadak bisu. Selain itu, harusnya dia yang jangan dekat-dekat denganku.

"Ah, Kak Samra juga jangan terlalu dekat sama Kak Faisal. Nanti suka!" sindir Fiona.

Sementara Samra yang berada jauh di depan tak menanggapi lantaran telinganya tertutupi earphone begitu kami keluar kelas dan berjalan semakin cepat. Biasanya alat itu juga bisa mendekam sedikit kebisingan. Sayangnya hari ini aku tidak bawa.

Setiba di kantin yang agak ramai, segera aku memesan makanan dan membayarnya langsung. Kemudian menghampiri Samra yang duduk seorang diri sudah melepas penyuara telinga.

"Lo sendiri aja?"

Bukannya menjawab ia justru mendelik. Jelasnya karena pertanyaan yang terlontar barusan terdengar sangat konyol. Padahal sudah jelas-jelas gadis sangar sekaligus penyelamatku waktu itu tengah sendirian sambil menyeruput kuah soto. Tunggu, kenapa bisa ia dapat pesanan secepat itu?

"Kok lo dapat duluan, sih?" tanya Dzaki mewakili.

"Bikin sendiri. Yang penting diizinin."

"Btw, Raina mana?"

"WC tadi ngantri, jadi dia nyuruh duluan."

"Disuruh atau lo yang sengaja ninggalin?"

"Dua-duanya."

Dzaki ber-oh ria. Sedangkan aku hanya menyimak pembicaraan keduanya. Akhir-akhir ini Samra banyak berubah. Misal, tidak lagi mencak-mencak seperti seekor singa betina sambil mengeluarkan kata-kata mutiara saat Dzaki melakukan hal absurd yang senantiasa membuat Samra naik pitam. Ya, walaupun sikapnya masih terkesan dingin, cuek, dan tidak peduli.

"Kak, aku duduk di sini, ya?"

Aku menoleh sekilas. Mau tak mau merespons. "Enggak."

"Ih, masa aku enggak boleh duduk di sini sih, Kak? Kan, tempatnya udah penuh." keluh Fiona terdengar cempreng.

"Hei! Lo enggak lihat di sana masih ada yang kosong?" timpal Dzaki nge-gas.

"Siapa yang ngomong sama kakak, sih? Orang aku ngomong sama Kak Faisal!"

CHANGED [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang