☁12 - Sorry?

24 3 3
                                    

- "I stepped on a winding road. Taking a story from the beginning of a story that will happen soon." -

Kamis pagi kali ini disambut oleh sang surya yang sudah menyembulkan cahaya afsun miliknya. Memaksa semua orang untuk segera melaksanakan aktivitas di awal waktu. Nyaris setiap hari kami para pelajar harus bangun lebih pagi. Berangkat sekolah dan mengenyam pendidikan. Setelah sampai di sekolah pun tak pernah luput dari yang namanya belajar, belajar dan belajar.

Namun anehnya, hanya segelintir orang yang berniat memperoleh ilmu di sekolah. Kebanyakan dari mereka terkadang hanya untuk main-main. Tentunya aku tak ingin menyia-nyiakan hal ini. Aku tidak ingin mengecewakan kedua orang tuaku sebab harus mengeluarkan banyak biaya demi anaknya bersekolah. Selain itu, apa gunanya aku duduk selama hampir delapan jam jika tidak memaknai betul fungsinya belajar. Dengan kata lain, belajar itu bukan suatu kewajiban melainkan kebutuhan.

"Sal, lo sudah PR metik, kan?"

"Sudah, kenapa?" Selidikku mencium aroma kejanggalan.

"Nggak papa, soalnya gue sudah." ujar Dzaki membanggakan diri sambil membusungkan dada dan menepuk-nepuknya.

"Pakai jimat apa lo sampai ngerjain PR?"

Dzaki menyengir lebar dan menjawab. "Punya nenek moyang gue."

"Serius?" tanyaku tak percaya.

"Percaya aja lo, orang gue minta bantuin tetangga. Hahaha."

Aku menggelengkan kepala lantas melewati Dzaki yang masih tertawa tidak jelas. Satu-satunya tujuanku kali ini adalah duduk manis di tempat dan membaca buku.

Hingga tak terasa sudah sepuluh menit aku melaksanakan literasi. Satu-persatu penghuni kelas juga mulai berdatangan. Tetapi Dzaki, dia masih betah berdiri di depan pintu. Ada gerangan apakah?

Aku berjalan ke arahnya kemudian menepuk pundak Dzaki. "Ngapain lo di depan pintu, mau jadi Mail?" tanyaku berseloroh.

"Bukan, gue sedang menunggu hidayah untuk segera mengetuk pintu hati." ucapnya dilembut-lembutkan.

Alisku terangkat sebelah, tak mengerti maknanya. "Apa maksud."

Dzaki berdecak. Memutar kedua bola matanya sembarang arah. "Gue tuh ngitung jumlah anak-anak yang masuk ke kelas kita." jelas Dzaki mengandung unsur ambiguitas.

"Ya, terus?"

"Saat gue menghitung jumlah mereka, ternyata ada yang kurang."

Sebelah alisku yang satunya lagi terangkat. Aku bertanya. "Siapa?"

"Samra."

"Gue kira apaan, lo nggak lihat suratnya di meja guru?"

Dzaki menengok ke tempat yang kutunjuk, kemudian tersenyum lebar sembari menggaruk tengkuknya. "Kenapa dia gak masuk hari ini?"

Aku mengangkat bahu. Pertanda bahwa tidak ingin memberitahu alasannya. Lebih tepatnya malas menjawab. Dari arah lain, Irsyad datang dengan Khayri. Biasanya dia mengajak orang untuk ikut salat duha bersama.

"Assalaamu 'alaikum." ucap keduanya ramah-tamah.

"Wa 'alaikumus salam." jawab Dzaki dengan semangat baja. Sedangkan aku menjawab biasa saja.

Jika kalian bertanya kenapa kami menjawab salam dengan ucapan 'wa 'alaikumus salaam' dan bukan dengan 'wa 'alaikum salam', itu karena guru agama di SMP-ku pernah bilang makna dari 'wa 'alaikumus salaam' itulah yang artinya benar.

"Jangan lupa. Pulang sekolah nanti kita lihat pengumuman di mading." ucap Irsyad.

"Buat apa?"

Aku meninju pelan pundak Dzaki. Sedangkan dia terlihat berpura-pura meringis kesakitan.

CHANGED [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang