☁26 - Yours

21 3 0
                                    

-"To accept big things, you must learn to accept small things"-

Semilir angin pagi kian menembus pori-pori kulitku kala duduk di atas rooftop. Entah kenapa, aku ingin saja berada di sini. Ditemani mentari dari ufuk timur sana, kedamaian mulai menghampiri. Sementara banyak orang yang jam segini masih terbungkus dinginnya embun.

Bahkan sejak tadi, tanganku tak pernah lepas memegang secangkir teh hangat bersama uap yang mengepul di wajah. Cakrawala pagi memang senantiasa menenangkan bagi siapa saja yang tidak diliputi persoalan hidup. Termasuk sekumpulan masalah yang tiada habis-habisnya menguji.

Kokokan ayam terdengar saling sahut-menyahut dari kejauhan. Berbeda dengan keluarga kami yang tidak memelihara ayam melainkan seekor kelinci. Kelinci yang saat ini sedang diberi sarapan oleh Ayah tepat di halaman belakang rumah.

"Faisal, ngapain kamu di atas di sana?" seru Ayah dari kejauhan. Ia masih berjongkok sembari memberikan wortel pada Wendy—nama kelinci pemberian Kak Najma.

"Nyantai." sahutku menyelonjorkan kaki.

Ayah berdiri, tangan kanannya di pinggang. Dia berteriak marah. "Cepat turun."

Aku terkekeh kalap mendapati kekesalan wajahnya. Ia terus saja memelotot seakan bola mata itu hendak keluar.

"Oke, Yah."

"Langsung mandi!"

"Iya!" sahutku mengambil handuk.

Setelah kejadian dengan Raina waktu itu, Ayah semakin ‘peduli’ denganku. Aku berani mengakuinya karena beliau benar-benar tahu cara membuktikannya kemarin.

Flashback On

"Maaf, Pak. Mungkin anak saya memang salah karena membolos, tapi perlu tahu kalau dia cuma mau membantu. Kejadian waktu itu tidak disengaja. Pun, Faisal tidak terbukti untuk tuduhan kriminalitas. Jadi, kenapa anak saya kena imbasnya?"

"Tapi, Tuan, anak ini ... maksud saya Raina sempat terlibat. Apa anak situ tidak ikut terlibat juga, kan?"

Wajah Ayah mengeras, bisa kulihat dengan jelas hal itu. Ia menyorot Raina.

"Saya tidak ada urusan tentang itu. Yang saya tau gadis ini hanya dijebak. Harusnya Bapak mengerti kalau remaja itu masa yang rentan."

Pak Karmin bergantian melirik kami. Aku tidak yakin apa keputusannya nanti. Namun, aku meyakini kalau dia pasti belum merasa puas dengan semua ini.

"Apa buktinya?"

Ayah berdiri, merogoh ponselnya dari saku celana. Ia mengetikkan sesuatu dengan cepat, lalu kembali duduk dan menyesap kopi buatan Pak Karmin kepada tamunya. Tamu yang datang secara tiba-tiba setelah aku dan Raina sempat menjelaskan tujuan kedatangan kami.

"Maaf, Tuan, katanya mau kasih bukti?"

Ia meletakkan cangkir kopi itu di atas piring kecil, kemudian menatap lurus ke arah Pak Karmin. Untuk sesaat aku memandang Ayah penuh wibawa sebelum akhirnya ia mengatakan.

"Intel saya yang akan datang kemari untuk menjawab pertanyaan, Bapak."

Saat itu aku benar-benar syok kala tahu Ayah mempunyai intel. Aku sendiri tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri. Seorang lelaki paruh baya yang bekerja sebagai supir di rumah Dzaki dan sering kupanggil Pak Jumali itu adalah intel Ayah. Bagaimana mungkin?

Bukan tidak mungkin, Ayah jelas punya koneksi dengan banyak orang. Teman-temannya bukan hanya di sekitaran rumah atau kawasan kerja. Semua orang bisa saja ‘teman’ Ayah. Atau mungkin, orang-orang di sekolahku juga bekerja sama dengannya.

CHANGED [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang