☁20 - Tired

26 3 1
                                    

- "Lust; only desire to have and no matter what happens later. Love; one word, thousands of meanings." -

Beberapa bulan kemudian....

"Astaga! Cepat, Ki!"

"Eh, si dudung! Gue udah cepat ini!

Kami berlari secepat mungkin. Bergegas menuju pintu gerbang sekolah yang sebentar lagi ditutup. Napasku terengah-engah akibat mempercepat langkah sekuat mungkin. Ini semua tidak akan pernah terjadi kalau saja ban motor Dzaki tidak bocor di tengah jalan. Malangnya lagi tidak ada taksi sama sekali yang lewat. Dan, apa boleh buat kami harus berlari setelah meninggalkan motornya di bengkel.

"Mampus kita kalau telat!" umpat Dzaki.

Sepuluh.

Sembilan.

Delapan.

"Sebentar lagi nyampe!"

Tujuh.

Enam.

"Gerbangnya!"

Lima.

Empat.

"Pak! Jangan ditutup!"

Dan, di detik terakhir kami sudah melewati gerbang dengan selamat.

Tanpa aba-aba, aku langsung menjatuhkan tubuh hingga terduduk. Jantungku memompa sangat keras demi memasok oksigen sebanyak mungkin. Bahkan kaosku sudah basah dibanjiri oleh keringat.

"Akhirnya ...," ucap Dzaki yang telentang di atas lapangan semen. Rusuknya sampai naik turun menstabilkan udara yang keluar masuk.

"Apa kita ke UKS aja, ya?" sambungnya.

"Kenapa kalian terlambat?" tanya Satpam setelah menutup gerbang. Ia mendatangi kami dengan pulpen dan buku tebal di tangannya. Aku tidak berniat menjawab akibat kerongkongan yang kering.

"Cepat satu detik kok, Pak." kilah Dzaki menunjukkan angka satu menggunakan jarinya. Ia masih berbaring ngos-ngosan.

"Tidak ada alasan, nanti saya laporin kalian ke guru piket. Terus ini kasih ke guru mapel pertama." Ancamnya sesudah menyerahkan kertas persegi empat yang bertuliskan nama kami.

"Ah, si Bapak kagak asik... huh."

Sang satpam tidak merespons. Ia langsung kembali ke posnya sendiri sambil menyulutkan sebatang rokok. Aku dan Dzaki hanya mampu bertukar pandang karena terlalu capek untuk sekadar berdiri.

"Lo punya minum enggak?" tanyaku serak seraya mengelap dahi.

"Kagak ada," sahut Dzaki. "Lo ada, nggak?"

"Kalo gua ada ngapain nanya lo."

Aku melempar kerikil ke arahnya. Perlahan-lahan mulai bisa mengatur napas yang abnormal, lalu berdiri menyodorkan tangan.

"Ayo, pergi. Kecuali, kalau lo masih mau rebahan kayak orang gila."

"Asem, orang gila." ucapnya sambil meraih uluran tanganku. "Eh, bro, cari minum dulu, yok. Haus gue."

"Lo kira lo aja."

Kemudian aku menyisir pandangan barangkali ada penjual es. Namun, sepertinya itu mustahil berlaku di sekolahku lantaran adanya larangan berjualan sembarangan di sini.

Sedangkan di sisi lain, tampak berberapa anak 10 IPS 2 yang mulai berdatangan memenuhi lapangan. Mereka memakai baju olahraga dan tentu sebagiannya ada yang membawa air minum.

"Kayla!" panggil Dzaki.

Tentu saja gadis yang memakai jilbab biru muda itu langsung menghampiri kami.

CHANGED [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang