☁28 - Rihlah

20 3 1
                                    

- "There is no word later to apologize and forgive." -

Sekali lagi kuperiksa barang-barang yang berada di dalam tas ransel. Semua perlengkapan yang dibutuhkan selama perkemahan memang sudah siap sejak kemarin malam. Namun, tak dimungkiri bahwa bisa saja ada yang tertinggal.

Tanpa sadar, jam di pergelangan tanganku telah menunjukkan tepat pukul dua siang. Bis-bis yang menjadi alat transportasi juga sudah bertengger rapi menunggu penumpang lainnya tiba. Untuk hal ini, laki-laki dan perempuan dipisah alias tidak berada dalam satu kendaraan demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Selang waktu kemudian, semuanya sudah berkumpul dan masuk ke dalam bis secara teratur. Aku yang pertama masuk jadi memilih duduk dekat jendela diikuti Dzaki di sebelahku. Pada saat bersamaan aku melihat ke arah Putri yang masih berada di luar sambil menunggu giliran masuk.

Ya, selama ini aku cuma bisa mengamati dari jauh.

Bunyi mesin sudah menderum menandakan perjalanan siap dimulai. Perjalanan ke suatu tempat yang katanya adalah sebuah padang luas. Sepanjang jalan, kami disuruh untuk membaca Al-Qur'an dan aku menurut saja membaca dengan khidmat.

Sekitar hampir dua jam lebih, akhirnya bis kuning ini berhenti di suatu tempat. Awalnya aku mengira kalau kami sudah sampai, ternyata waktu asar hampir tiba sehingga kami harus menghentikan kepergian terlebih dahulu. Seusai mengerjakan salat berjamaah, kami disuruh untuk mengisi perut. Bukannya apa, pembina kami hanya khawatir tidak akan sempat makan jika sudah sampai di tempat tujuan nanti.

"Sal, lo bawa apa?"

Aku membuka kotak bekal, lalu memperlihatkan nasi uduk beserta lauk-pauknya pada Dzaki.

"Wih, kayaknya enak. Bagi dong."

"Bukannya lo bawa bekal juga?"

"Iya, tapi gue cuma bawa lasagna doang. Lupa pake nasi."

"Lasagna pakai nasi? Enggak salah?"

Dzaki mengesah. "(Orang) Indonesia makan tanpa nasi enggak kenyang."

"Oke." jawabku. "Tapi bagi juga."

"Siap, santuy!"

Aktivitas mengisi perut pun selesai. Segera kami disuruh mempersiapkan diri agar melanjutkan perjalanan. Namun, sebelum itu diberitahu supaya tidak meninggalkan sampah dan kotoran di sana.

Hingga tak terasa, hari sudah semakin sore. Cahaya matahari yang berada di sebelah barat sana kian memudar. Menyisakan garis-garis oranye pada awan kelabu. Aku yang berada dekat jendela dapat menikmati pemandangan itu secara jelas. Dalam hati aku mulai penasaran seperti apa tempat yang menunggu nanti.

Hingga tak butuh waktu lama, kendaraan yang ditumpangi pun benar-benar berhenti di tempat tujuan. Secara teratur orang-orang turun dari bis karena minimnya pencahayaan saat ini.

"Ayo turun, kita langsung ambil air wudu baru salat!" titah Pak Manaf lantang.

Singkatnya setelah melaksanakan salat maghrib, kami diarahkan menuju tempat yang masih dipertanyakan kapan sampainya. Kata Pak Rasyid selaku Pembina Putra, jarak antara musala dan lokasi utama tidak terlalu jauh meski berjalan kaki.

Sepanjang perjalanan, kebanyakan dari kami tiada henti-henti mengucap dzikir dan do'a. Mengingat bahwa jalan yang kami lewati sedikit berbahaya ditambah suasana gelap.

"Kok gue ngerasa kayak di cerita-cerita gitu, ya?" kata Dzaki siap berceloteh.

"Maksudnya?"

"Langit gelap, pohon-pohon tinggi, jalan be-rombongan. Baru tiba-tiba ada hantunya, kan... Hiiii."

CHANGED [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang