-"Sometimes it's better to be silent than to explain what we feel because it hurts when they can only hear, but can't understand."-
"Hayo, yang merasa ketiduran cuci muka dulu sana."
Mendengar suara dalam Bu Nia seketika menarik paksa diriku dari mimpi ke dunia nyata. Tak lupa mengucek-ngucek mata demi mengembalikan penglihatan yang buram. Ini adalah kali pertama aku ketiduran di jam pelajaran beliau.
Setelahnya aku menoleh ke sekeliling dan mendapati banyak yang terlelap selama penjelasan Bu Nia. Bahkan Dzaki memilih tidur di lantai pojok akibat penyampaian materi yang begitu membosankan. Jangan ditiru. Belum lagi langit mendung menambah hawa kantuk ke dalam atmosfir kelas.
Jika bertanya apa Bu Nia tahu atau tidak, sudah pasti beliau tahu kelakuan siswa-siswinya lantaran memang jadi langganan setiap jam pelajarannya. Bu Nia memang guru yang sedikit longgar, tapi kalau muridnya sudah sangat keterlaluan pasti akan mengambil tindakan tegas juga.
Mau tak mau aku meminta izin pada guru tersebut setelah menunggu beberapa selesai mencuci muka akibat wastafel di depan kelas mati. Terpaksa aku menuju kamar mandi. Namun belum juga sampai, tetiba langkahku berhenti lantaran mendengar ucapan seseorang di belakang.
"Aku dengar bendahara Rohis hilangin uang sumbangan kelas sepuluh, ya?"
"Hah? Masa?"
"Iya. Entah hilang atau ngambil, sih. Masih belum jelas juga."
"Memang yang mana orangnya?"
"Putri kalau enggak salah. Kelas sebelas berapa gitu. Aku lupa."
Kontan aku berbalik. Penasaran dengan pembicaraan tersebut.
"Kalian berdua."
Mereka berhenti, saling bertatapan satu sama lain. Gadis-gadis itu menunjukkan berbagai macam raut wajah yang tidak mudah dimengerti. Sementara aku sedikit kebingungan menyadari keduanya kembar. Jadi, sebut saja Gadis A dan Gadis B.
"Ada apa, Kak?" tanya si Gadis A takut-takut.
"Kalian barusan bilang kalau bendahara rohis ngilangin uang. Betul?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Bilangnya begitu." sahut Gadis B terkesan datar. Berbanding terbalik dengan kembarannya yang tampak gugup.
"Memangnya kalian tau dari mana?"
Kedua gadis itu kembali bertatapan, lalu Gadis B membalas duluan. "Tau dari orang-orang, tapi belum tentu dia pelakunya, sih."
"Iya, iya." imbuh Gadis A.
Aku cukup tersentak mendengar itu. Putri korupsi? Rasanya itu sangat tidak masuk akal. Belum lagi tidak ada konfirmasi langsung dari orang yang bersangkutan termasuk ketua rohis sendiri. Pastilah kalau ada masalah, Irsyad lebih dulu tahu dan segera bertindak.
"Kalau begitu kami pamit dulu, Kak." izin Gadis A terlihat buru-buru.
Aku menyetujui. Sesudah kepergian dua kembar itu aku segera memikirkan Putri. Antara percaya dan tidak percaya. Akan tetapi setelah hari itu, orang-orang mulai banyak membicarakan Putri. Mulai dari angkatan kelas sepuluh sampai kelas dua belas sekalipun. Bahkan kelasku sendiri tak luput menceritakan perihal serupa. Untuk itu, Irsyad berencana mengumpulkan anggota rohis sehabis pulang nanti.
"Gue penasaran gimana jadinya nanti." kata Dzaki mengisi sela-sela jam kosong. Guru bidang studi yang mengajar hari ini sepertinya masih ada urusan makanya belum bisa datang.
"Gimana menurut lo, Ra?" imbuhnya lagi.
"Mana gue tau." ceplos Samra.
"Yah, enggak asik." keluh Dzaki. "Rai, lo enggak tau apa-apa? Bukannya lo dekat sama Putri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
CHANGED [COMPLETED]✔
Teen FictionPerubahan. Sesuatu yang pasti terjadi. Cepat atau lambat. Siap atau belum. Sadar atau tidak. Lantas, apa arti perubahan itu sendiri? Mengubah ataukah diubah? {15+} Point Of View 1 Faisal Hanif Mufida ___________________________________________ WARNI...