☁19 - Honesty

22 3 0
                                    

- "Life without honesty is like an oil lamp without incandescent. There is only futile." -

Kebetulan hari ini adalah hari libur. Hasilnya, aku memilih rebahan sambil memainkan sebuah game yang sedari tadi membuatku nyaris mengumpat.

"Bagus, nge-lag lagi."

Kemudian dengan kasar kuletakkan benda pipih itu di atas nakas. Ujung-ujungnya malah menjambak rambutku sendiri, jengkel. Setelahnya pandanganku teralih ke tirai warna kelabu yang mengantung pada batang gorden jendela. Namun, bagaimanapun aku masih enggan beranjak dari kasur barang sejenak. Padahal sinar matahari sudah berebut masuk lewat ventilasi udara.

Tok! Tok! Tok!

Pintu kamar diketuk. Meski sempat mengerjap, aku pun lekas bangun. Akan tetapi, suara di depan sana membuatku jengah saat itu juga.

"Eh, Pasal, bangun! Enggak mau sarapan kah?" Itu suara Kak Najma. Ia masih mengetuk pintu dengan keras sampai terlihat sedikit bergetar.

"Maulah." sahutku beringsut bangun.

"Makanya cepat, ngebo terus! Gimana masa depannya mau cerah kayak aku."

Lalu terdengar langkah kaki yang semakin menjauh pergi. Tak lagi terdengar suara sumbang yang mengaku-ngaku sebagai Polyhymnia—Dewi Seni Musik—setiap harinya. Lagi-lagi aku menggusah napas. Satu tempat tinggal dengan Kak Najma bisa membuat orang kekurangan oksigen karena terus menghela napas.

Tanpa pikir panjang, aku langsung bergegas menuju ruang makan. Hingga akhirnya mataku menangkap hidangan yang sudah tersedia di depan sana. Seketika perutku bergemuruh ketika menghirup aromanya.

"Faisal, ayo makan."

Dengan sigap, aku menyetujui tawaran Ibu. Meski harus terpaksa mengambil tempat di sebelah Kak Najma. Baru saja hendak mengambil telur, dia mendumel lagi.

"Ish! Kamu belum mandi, ya?" Kak Najma bergeser cukup jauh. Sehingga menyisakan jarak sekitar satu meter di antara kami. "Bau lagi."

Refleks aku mencium badanku, terutama dekat bahu. Tak menghirup aroma apapun.

"Enggak kok." Aku mengangkat pundak, acuh. Buktinya tidak ada yang pingsan setelah kedatanganku tadi.

"Tapi kamu jelek."

Aku tersenyum—terdiam. "Jelek-jelek gini masih ada yang mau."

Kak Najma berdecih. "Cih, pede dia."

Sementara orang tuaku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kejadian barusan. Mendadak aku merasa bersalah. Tapi serius, aku masih ganteng.

"Mandi habis makan itu enggak sehat tau," kata Kak Najma sambil mengunyah.

Aku mengerling ke arahnya. "Masa? Bukannya itu cuma mitos?" tanyaku tersenyum sinis.

Lalu dia berhenti mengunyah dan malah menatapku. "Meskipun sering dibilang mitos, bukan berarti mandi habis makan bisa dijadiin kebiasaan. Menurut beberapa pakar kesehatan, langsung mandi tanpa ngasih jeda sehabis makan bisa bikin vasodilatasi atau pembesaran pembuluh darah."

"Kan, cuma sekali ini aja."

Kak Najma merotasikan bola matanya. "Dengar, ya, pelebaran pembuluh darah bakal bikin sirkulasi darah jadi lambat terus bisa ngaruh sama kecepatan transport nutrisi dan nge-ganggu kerja sistem pencernaan. Belum lagi efek kejut pas langsung mandi bikin kram terutama daerah perut. Padahal area perut cukup hangat karena ada aktivitas sistem pencernaan sehabis makan tadi, jadi kalau sempat terjadi proses pendinginan tubuh secara dadakan kemungkinan otot bakal kejang atau kram."

CHANGED [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang