☁23 - Uncovered

25 3 3
                                    

- "Believe me, actually verbal violence is far more painful than physical violence. Because, pain in the body can be cured. While hurt, a lifetime is not necessarily cured." -

"Malam ini Ibu sama Ayah mau ke Samarinda, kamu yakin enggak mau ikut?"

"Iya, Bu. Lagian Faisal ada pengajian malam ini, besok juga sekolah."

"Lebih baik kamu nginap aja di rumah temanmu. Kakakmu juga nginap di rumah temannya." kata Ayah mulai protektif.

Aku menolak. "Enggak usah, ini bukan pertama kalinya Faisal ditinggal."

Ibu dan Ayah tampak khawatir. Mereka berdua terlihat saling pandang selama beberapa detik. Lalu Ibu mengusap rambutku perlahan.

"Hati-hati di rumah, ya, Nak. Kalau ada apa-apa telpon aja."

Kepalaku terangguk mantap, berusaha meyakinkan mereka. Selesai berpamitan, aku tak langsung masuk ke dalam rumah. Melainkan duduk terlebih dahulu di kursi teras sambil mengamati jalan raya yang dipadati arus kendaraan.

Hari sudah semakin sore, aku beranjak masuk menutup pintu dan menghidupkan lampu. Walaupun begitu, rumah ini tetap saja terasa sepi. Aku jadi heran mengapa Ayah tidak mempekerjakan pembantu atau semacamnya. Beberapa menit kemudian suara azan sudah berkumandang. Aku bergegas mengambil kunci motor dan melesat pergi ke masjid. Malam ini, ada sesuatu yang mesti kutanyakan pada seseorang.

Hampir satu jam mengadakan pengajian, akhirnya kami diperbolehkan untuk pulang. Akan tetapi, tidak denganku yang sedang menunggu Kak Andra selesai menaruh Al-Qur'an di rak khusus.

"Kak, ada yang boleh saya tanyain enggak?"

Laki-laki jangkung itu menoleh, baru mengangguk setelah menyelesaikan pekerjaannya. Dia mengajakku duduk terlebih dahulu, agak jauh dari beberapa orang yang sengaja belum pulang. Dari sini aku mampu melihat keningnya bergulung bak ombak.

"Mau ngomong apa?" tanyanya sembari duduk bersila. Ia bertopang dagu menggunakan telapak tangan dengan siku bertumpu di atas paha.

"Emh. .. mulai dari mana, ya." Aku menggaruk tengkuk. "Tapi sebelumnya saya mau tanya Kakak kenal Putri, kah?"

Kak Andra tampak berpikir. "Putri yang mana? Di sekolah ini banyak yang namanya Putri."

"Putri Meliana." jawabku cepat—gugup.

"Oh, yang anggota rohis itu, ya? Saya kenal. Kenapa?"

Kini aku dibikin terdiam. Mendadak gagu dan bingung harus memulai dari mana. Sementara orang di depanku sudah memasang wajah serius. Aku terpaku selama beberapa detik.

"Kakak kenal dia dari SMP?"

Dia mengangguk. "Iya, satu sekolah."

"Hm, apa dia pernah ngelakuin kesalahan besar dan melibatkan Kak Andra?"

Mendadak riak wajahnya langsung berubah drastis. Ekspresinya kali ini sulit ditebak antara kaget, marah, gelisah, dan sedih. Mungkin memang benar kalau ia pernah berbuat sesuatu yang berhubungan langsung terhadap Putri.

"Pernah." sahutnya lirih.

Ia tampak memalingkan muka seakan ada yang disembunyikan. Terus terang aku memberanikan diri bertanya lagi, tak peduli kalau seperti menginterogasi.

CHANGED [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang