☁24 - Reason

22 3 4
                                    

- "You are great. You are strong. The proof is that you did not choose to commit suicide so that your life problems are over." -

"Kenapa lo harus pingsan?" keluhku sambil menyampirkan jaket ke tubuhnya. Memilih abai kalau aroma alkohol akan melekat pada jaketku.

Sambil mengawasi sekeliling, aku memastikan sudah tidak ada siapa-siapa. Pintu kayu tempat Cheryl pergi seolah terkunci dari dalam. Kemudian dengan susah payah aku menggendong Raina di punggungku. Jangan tanya bagaimana caraku mengangkatnya.

Terlepas dari itu aku segera membawanya pergi. Bukan mencari kesempatan, tetapi mengingat bahwa lorong yang kulalui tadi lumayan sempit, itu pasti akan menyulitkan kami ke luar jika menggendongnya ala sinetron di tv. Jangankan yang seperti itu, posisi begini saja sudah cukup susah.

Hingga beberapa menit kemudian, kami sudah keluar dari lorong tersebut. Raina lebih dulu kuturunkan agar bersandar pada tembok. Barulah aku bisa bernapas lega dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Jika dipikir-pikir, ini adalah pengalaman pertamaku menggendong seorang perempuan yang bukan anak kecil.

Sekarang yang harus kulakukan adalah bagaimana caranya memulangkan Raina. Tidak, sepertinya itu bukan cara yang tepat atau aku akan berakhir dengan tuduhan gila dari orang tuanya. Lagian, aku juga tidak tahu di mana rumah Raina—alasan sempurna. Lebih kekliseannya lagi, tidak mungkin kan, aku membawanya menggunakan motor?

Tetapi tetap saja, aku merasa bertanggung jawab atas gadis ini. Jadi, tujuanku kini ialah menyadarkan gadis itu. Tiba-tiba terlintas nama seseorang di atas kepalaku. Segera kukeluarkan ponsel dari saku celana untuk menelpon seseorang.

"Ki, bangun! Gue butuh bantuan!" ucapku nyaring setelah telepon diangkat si penerima yang tak lain dan tak bukan adalah Dzaki.

"Astaghfirullah, ucap salam dulu kek. Wong gue belum tidur." balasnya sewot.

"Assalaamu'alaikum ... cepat bantu gue."

"Wa'alaikumus salaam ... minta bantuan apa malam-malam begini?"

"Gue ada di gang sama Raina, dia pi—"

"Woy! Ngapain lo!?"

Aku sedikit menjauhkan ponsel dari kuping. Sementara tanganku yang lain bergerak mengusap-usap telinga akibat terasa berdengung.

"Dia pingsan." sahutku memotong perkataan Dzaki.

"Kok bisa?"

Aku berdecak. "Ceritanya panjang, nanti gue jelasin. Lo buruan ke sini bawa mobil, ntar gue kirim koordinatnya."

"Gue kan, belum boleh bawa mobil."

"Sopir lo, kan, ada!" ucapku geregetan.

"Oh iya, gue konfirmasi dulu, Pak Bos."

Aku bergumam. Telepon terputus sepihak oleh Dzaki.

Sembari menunggu bantuan datang, sebisa mungkin aku menahan diri agar tidak terjerat dalam kegelisahan. Apalagi melihat Raina yang belum sadar membuatku bertanya-tanya mengapa ia bisa pingsan.

Tidak sampai sepuluh menit, dari kejauhan aku melihat sorot lampu sebuah mobil yang menyilaukan penglihatan. Terdengar suara pintu mobil yang tertutup setelah seseorang keluar dari sana. Orang itu menghampiriku.

"Mana Raina?" tanya Dzaki agresif.

Aku melirik gadis itu. Ia belum juga siuman.

"Astaga, lo apain anak orang, Sal?"

Kutoyor kepala Dzaki, pasti dia berpikir yang macam-macam. "Dia pingsan dari tadi." jawabku enteng.

Dzaki sedikit mendekat, memperhatikan keadaan Raina yang sangat kacau. Mata sembab, rambut basah bercampur alkohol, kaki yang tampak memar, serta berbagai macam keprihatinannya.

CHANGED [COMPLETED]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang