Suara itu. Suara yang lebih tepatnya seperti bisikan halus, berbisik tepat di telinga mungil Vania. Suara berat yang terkesan lembut mengingatkan Vania pada seseorang yang dulu sempat mengisi hari-harinya. Seseorang yang menempati posisi terspesial di hidupnya, namun kini telah pergi meninggalkannya sendirian di dalam sunyinya kehidupan.
Tanpa sadar, air mata Vania jatuh membasahi pipi mulusnya. Gadis berlesung pipi itu termenung menatap langit malam dari balkon kamarnya. Mengulang kembali memori-memori terindah di dalam hidupnya yang pernah terjadi di masa lalu.
Memiliki wajah serta sikap yang dingin bukan berarti hati Vania ikut membeku seperti es batu. Seperti manusia pada umumnya, Vania juga bisa merasakan kesedihan dan bisa menangis di waktu tertentu. Pada dasarnya, Vania memiliki sifat yang ramah dan murah senyum kepada siapa saja. Namun, itu hanya bersifat sementara hingga suatu ketika sebuah insiden buruk menimpa hidupnya. Sejak peristiwa itu, Vania memutuskan untuk mengubah kepribadian aslinya menjadi pribadi yang tertutup dan cuek terhadap sekitar.
Orang di sekitarnya-termasuk kedua orangtua serta kakak lelakinya, sangat sedih dengan perubahan drastis yang terjadi pada diri Vania. Begitu besarnya pengaruh insiden tersebut bagi hidup Vania.
Vania beranjak pergi dari balkon kamarnya setelah mengusap cairan bening yang berhasil membasahi pipinya. Setelah menutup pintu balkon, Vania memasuki kamarnya dengan langkah gontai. Vania terduduk di pinggir kasur dan tangannya beralih mengambil sebuah figura foto yang selalu dia simpan di atas nakas.
Mata sayunya menatap objek yang berada di foto tersebut. Sesekali ibu jarinya bergerak ke atas dan ke bawah, mengusap permukaan kaca dari figura foto yang tengah dia pegang. Berkali-kali pula Vania menghela napas berat, guna untuk menenangkan suasana hatinya.
Tanpa Vania sadari, sedari tadi Rafa mengintipnya melalui celah pintu yang sebelumnya telah dia buka. Awalnya Rafa ingin meminta Vania untuk menemaninya menonton film action, tetapi melihat keadaan Vania yang bisa dibilang kurang baik, maka Rafa mengurungkan niatnya dan menundanya sampai waktu yang tepat. Sebelum Vania menyadari kehadirannya berada di depan pintu, sesegera mungkin Rafa menutup pintu dengan sangat pelan agar tidak menimbulkan suara dan pergi dari posisinya saat itu.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan bertepatan saat itu pula, kantuk datang menyerang Vania. Ditaruhnya kembali figura foto itu ke tempatnya semula, dan setelahnya ia berbaring di atas tempat tidurnya. Sepersekian detik matanya sudah terpejam dengan sangat rapat.
***
Rasa takut dan bingung kini tengah menyelimuti seorang perempuan yang saat ini sedang celingukkan mencari seseorang yang mungkin saja berada di tempat yang sama dengannya. Tetapi, yang dia dapat hanya kegelapan dan kesunyian yang membuatnya menjadi semakin takut.
"Vania..."
Sebuah suara tiba-tiba muncul, membuat gema di seluruh ruangan yang sangat gelap ini tanpa ada penerangan sedikit pun.
"Vania..."
Suara itu terus saja memanggil namanya berulang kali. Ada rasa senang dan takut yang datang bersamaan. Senang karena dia tahu jika dia tak sendirian disini, dan takut karena dia tak dapat menemukan sosok dari pemilik suara tersebut.
"Vania..."
"Siapa disana?"
Hening. Tak ada sautan. Ruangan itu kembali sunyi senyap seperti awal. Vania pun memberanikan diri untuk menghampiri sumber suara tersebut. Ia terus melangkah mengikuti kata hatinya, walaupun dia tak tahu tempat apa yang nantinya akan dia tuju. Keadaan yang gelap gulita membuat Vania berjalan sambil meraba-raba udara, takut-takut ada sesuatu yang bisa saja dia tabrak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Real of Ice Queen
FanfictionVania Calistha Dirgantara, gadis cantik berwajah jutek yang memiliki sifat cuek nan dingin. Membuat siapa pun terpana akan kecantikannya hanya dengan sekali melihat wajahnya. Di balik semua itu, ia memiliki masa lalu yang kelam. Alasan itulah yang m...