22. Musuh

1.5K 53 1
                                    

Seorang lelaki yang tengah berbaring di atas ranjangnya menatap langit-langit kamar entah memikirkan apa. Sejak tadi ia uring-uringan karena rindu dengan suasana Indonesia. Tapi tak mungkin ia pulang ke negara asalnya sekarang, karena ia masih ingin disini menemani kakeknya yang telah lama sendirian ditinggalkan sanak saudara.

Bukan anak-anak maupun cucu-cucunya melupakan kehadirannya begitu saja, namun karena jadwal mereka yang padat mengurus perusahaan keluarga membuat mereka mau tak mau menunda kunjungannya ke negara tetangga tempat dimana sang kakek tinggal.

Lelaki itu memutuskan bangun dari baringannya dan mengambil laptopnya yang berada di atas meja belajar. Dibukanya laptop itu dan membuka aplikasi berwarna biru dengan lambang S di tengahnya. Ia pun memencet panggilan video pada layar dan tak lama penelepon di seberang sana menerima panggilannya.

"Apaan, nih, telepon-telepon?" Ucap Vano sembari menguap.

"Baru bangun lo?"

Vano mengangguk sambil mengacak rambutnya yang kusut berantakan. "Hm. "

"Najis! Udah jam segini baru bangun, kayak perawan aja lo!"

"Kalo tujuan lo telepon gue cuma buat maki-maki mending nggak usah telepon."

"Yaelah, baperan amat kayak perawan."

"Sumpah! Lo ngeselin parah."

Bimo tertawa melihat ekspresi kesal sepupunya. "Btw gue kangen, nih."

"Lho? Baru tau gue ngangenin?"

Bimo memutar bola mata malas. "Please deh ya, nggak usah narsis. Lagian gue kangen sama suasana di Jakarta, bukan kangen sama lo!"

"Masih aja ngeles." Vano mengubah posisinya menjadi tengkurap. "Lo balik lagi kesini kapan?"

Bimo menatap langit-langit kamarnya seolah berpikir. "Kapan-kapan. Lagian gue masih kangen sama opa. Harusnya, sih, gue yang nanya kayak gitu, lo kapan kesini? Nggak kangen sama opa apa?"

"Ya kangen, lah, anjir! Nanti, deh, gue kesitu pas liburan semester. Dikit lagi kan gue ujian, nih. Terus abis itu pasti libur, deh."

"Iya, deh. Terserah lo aja. Intinya opa kangen sama lo, sama bokap nyokap lo juga. Kalo bisa lo kesini bareng mereka."

"Ya kalo itu sih nggak tau, ya. Paling gue kesitu sendiri. Lo kayak nggak tau mereka aja sibuknya gimana."

"Jangan gitu, lah! Mau sampe kapan hubungan lo sama bonyok lo kayak gini? Kali-kali lah gitu liburan bareng sama mereka. Kayak orang musuhan aja begini terus."

Sekarang giliran Vano yang memutar bola matanya. "Ya, ya, ya. Udah, ah! Gue mau lanjut tidur. Bye!"

Sambungan telepon dimatikan sepihak oleh Vano, membuat Bimo berdecak sebal. "Kampret! Main matiin aja."

Bimo mematikan dan menutup laptopnya, menaruhnya pada tempat semula. Sekarang saatnya ia berganti pakaian olahraga, karena sehabis ini ia harus pergi ke gym tempat langganannya untuk membentuk otot-otot tubuhnya.

***

"Maaaa!" Teriak Sisca memanggil Mamanya.

"Apa, sih, Kak? Kok teriak-teriak?" Ucap sang Mama sambil menuruni anak tangga.

"Kok es krim yang aku beli kemarin nggak ada, sih?" Keluh Sisca sambil menunjuk isi bagian atas kulkas yang hanya berisi minuman kaleng.

"Oh, itu punya kamu? Kemarin si adek yang makan." Ucap Mamanya santai.

"Ih, Mama! Padahal, kan, itu es krim kesukaan aku." Balas Sisca cemberut.

"Ya udah, beli lagi aja sana. Gitu aja, kok, repot." Jawab Mamanya berlalu pergi.

The Real of Ice Queen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang