27. Perjodohan

1.6K 47 13
                                    

Flashback on

Sepasang suami istri yang telah memasuki kepala empat kini tengah berdiskusi tentang suatu hal di ruang tamu kediaman orangtua dari ayah Vano. Bimo pun turut hadir di antara pembicaraan mereka berdua.

"Bimo, tolong teleponin Vano, ya. Tadi Tante udah telepon dia, tapi nggak diangkat," pinta Kirana—Mama dari Vano.

Sebagai keponakan yang baik, Bimo mengangguk menuruti permintaan tantenya. "Iya, Tante."

Bimo segera menyalakan ponselnya dan langsung menuju kontak telepon. Tanpa lama-lama, ia segera memencet nomor Vano yang terletak paling atas. Ketiganya mendadak hening dan hanya ada suara khas telepon karena Bimo memencet tombol speaker.

"Nggak diangkat, Tante. Coba aku telepon lagi, deh." Ucap Bimo saat panggilan pertama hanya berdering tanpa diangkat oleh pemiliknya.

Begitu pun dengan panggilan kedua, tetap berdering tanpa ada yang menjawabnya.

"Kenapa nggak diangkat, ya? Apa dia marah karena tadi Tante telepon, ya?"

"Nggak kok, Tante. Palingan dia lagi asyik main sama temennya, jadi hapenya disilent. Emang suka kayak gitu dia, mah. Jadi Tante nggak usah terlalu khawatir." Jelas Bimo mencoba menenangkan Kirana.

Kirana hanya mengangguk mendengar penuturan keponakannya itu. Sementara Kirana dan sang suami kembali membicarakan suatu hal yang tak Bimo mengerti. Lelaki yang telah beranjak dewasa itu pun mendapatkan suatu ide di dalam otaknya. Yaps! Mengirimkan pesan kepada Vania tentu saja.

Bimo dengan segera membuka personal chatnya dengan Vania dan meminta tolong kepada gadis itu supaya Vano menelepon balik ke ponselnya secepatnya. Setelah mendapat respon dari Vania, Bimo pun menunggunya sembari membuka aplikasi yang lain.

Dua puluh menit kemudian Bimo mendapatkan pesan bahwa Vano akan meneleponnya balik, tetapi tidak sekarang karena cowok itu sedang asyik bermain games dengan teman-temannya. Seperti dugaan Bimo barusan.

Satu jam berlalu dan Bimo hampir saja terlelap kalau suara dering yang muncul dari ponselnya tidak berbunyi dan membuatnya terlonjak kaget.

"Kenapa? Lo kangen ya—"

"Heh! Kemana aja lo gue telepon dari tadi nggak diangkat? Malah baru telepon sekarang. Gue hampir aja tidur nyenyak kalo lo nggak telepon." Cerocos Bimo dengan segala kekesalannya.

Terdengar Vano yang tertawa cengengesan. "Sorry, Mas Bro! Ya udah, lanjut dah. Lo mau ngomong apa?"

Bimo berdeham sebentar. "Tapi lo jangan marah, ya?"

"Lah, lo aja belum ngomong, bahlul."

"Ya pokoknya lo jangan marah."

"Ya udah, apaan?"

"Hari Minggu setelah lo selesai ujian, lo harus kesini."

"Hah? Gimana-gimana?"

"Mau nggak mau lo harus kesini pokoknya."

"Lho, kok maksa, sih?"

Bimo menghela napas perlahan. "Mau gimana lagi? Ini permintaan orangtua lo. Mereka udah ada disini dari kemarin."

"Kok bisa? Lagian males, ah! Gue mau refreshing otak setelah ujian."

"Ya emang nggak bisa refreshing disini aja?"

"Nggak. Bodo amat, deh! Pokoknya gue nggak mau kesana."

"Percuma lo nolak. Tante Kirana udah pesenin tiket pesawat buat lo."

The Real of Ice Queen Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang