13

4.7K 471 26
                                    

Diva sedang duduk di balkon kamarnya, di Istambul. Diva masih terbayang pertemuan terakhirnya dengan Davi saat di mal.

Ternyata Davi munafik! Kemarin baru saja bilang masih mengharapkannya, tapi apa? Kenyataan yang kulihat kemarin dia tampak bahagia dengan istri dan anaknya.

Ckk...Diva...lupakan dia! Kau sudah punya suami yang sangat mencintaimu. Jangan pernah selingkuh walau hanya dalam pikiranmu saja. Itu namanya kau tak bersyukur.

Diva menghela nafas. Berusaha menepis bayangan Davi dari pikirannya.

"Azkim, kau sedang apa?"

Diva terkejut mendengar suara suaminya. Tanpa melihatpun dia tahu itu suaminya, karena hanya suaminyalah yang memanggilnya dengan panggilan 'Azkim'. Panggilan sayang untuknya.

Diva menoleh dan langsung bangkit dari duduknya untuk menyambut suaminya. Diva memberikan senyum manisnya kepada suaminya dan mencium punggung tangannya.

"Kamu pulang cepat hari ini, Sayang."

Malik mengecup kening Diva kemudian merangkulnya dengan erat seolah takut kehilangannya. "Ya, aku kurang enak badan."

Diva terkejut dan langsung mendongak menatap wajah suaminya. "Kau sakit?" Tanyanya khawatir.

Malik tersenyum lembut dan balas menatap wajah cantik Diva. Ya, Diva memang sangat cantik, dia beruntung mendapatkannya. Selain cantik, Diva juga baik dan telaten mengurus keluarganya. Bahkan tanpa polesan make up, wajah Diva tetaplah cantik. Kecantikannya dari luar dan dalam. Malik tak pernah bosan memandang wajah istrinya. Alisnya yang tebal, bulu matanya lentik dengan mata besar, serta kulitnya yang seputih susu. Sempurna adalah gambaran untuk Diva.

"Tidak, aku hanya lelah sehabis rapat tadi."

"Kalau gitu kubuatkan teh dulu ya. Kamu bisa istirahat sementara aku bikin minuman."

"Baiklah..." Malik melepas pelukannya dari Diva dan membiarkan Diva berjalan keluar.

Malik menghela nafas berat. Pikirannya sedang kacau. Dia teringat ucapan dokter tadi, bahwa penyakit kankernya kambuh lagi. Padahal sudah dua tahun lalu dia dinyatakan sehat. Tapi takdir mengatakan hal berbeda kepadanya.

Pikirannya menjadi susah karena memikirkan Diva dan anak-anaknya. Bagaimana nasib mereka jika dia tidak ada. Bukan masalah harta, bukan sama sekali. Kalau soal perusahaannya, dia tidak khawatir sama sekali, karena perusahaannya kuat, dan jika memang terjadi sesuatu dengan dirinya, ada sepupunya yang akan membantunya. Dia tadi sudah bicara dengan sepupunya itu, dan sepupunya juga telah berjanji kepadanya akan membantu mengawasi perusahaannya juga menjaga istri dan anak-anaknya jika terjadi sesuatu kepadanya. Memastikan mereka tidak akan kekurangan apapun. Tapi Diva pasti akan sedih jika terjadi sesuatu dengan dirinya. Dia tidak ingin membuat Diva sedih sama sekali. Dia ingin melihat Diva selalu bahagia. Tidak terpuruk seperti dulu.

Sampai sekarang dia tak tahu siapa pria yang telah menghamili Diva. Dia tak berani bertanya karena takut akan membuka luka lama Diva.

Di awal-awal pernikahannya dulu, Diva tak pernah tersenyum sama sekali. Bahkan wajahnya selalu terlihat pucat, sorot matanyapun dingin. Dulu dia sendiri terkadang merasa ngeri melihat ekspresi Diva, walaupun Diva tetap melayani semua kebutuhannya, merawatnya saat sakit, dan mengurus anaknya. Oleh karena itu dia tak mau banyak bertanya tentang masa lalu Diva, kecuali Diva sendiri yang ingin menceritakannya.

Malik masuk ke kamar mandi, tak lama kemudian dia keluar dengan tubuh yang lebih segar. Malik melihat gelas berisi teh hijau sudah ada di nakas, tapi dia tak melihat Diva di sana. Mungkin lagi di kamar sebelah melihat Oliv dan Altan.

D I V ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang