"Hidup itu seperti secangkir kopi hitam. Dirinya pahit, tapi perlu ditambahin gula untuk membuatnya menjadi manis."
20~3~2016
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
°~Author~°
NAURRA melirik ke segala arah, siapa tau dirinya menangkap sosok teman-temannya yang sudah menunggu di taman. Mereka mengubah haluan belajar dari cafe menjadi taman. Cewek itu menghela napas, menyiapkan telinga yang kebal untuk omelan yang dilontarkan Zayra dan yang lainnya.
"Assalamu'alaikum. Sorry, gue telat. Hehe ..." kekeh Naurra sambil menggaruk belakang kepala yang ditutupi hijab biru.
"Udah ditunggu dari jam delapan, datangnya jam sepuluh," gerutu Zayra dengan mulut yang dimajukan 2 cm. Naurra terkekeh, lalu melirik tajam pada Irra yang menutupi tawanya dengan tangan.
Sekilas Naurra melihat Alfa yang tersenyum mengejeknya. Gadis itu menghentakkan kakinya, ia memilih duduk jauh dari cowok yang dicapnya rese' tingkat dewa.
Naurra melirik pada handphone-nya. Pesan dari Bu Lira. Bibirnya maju 2 cm. Dosen itu meminta Naurra untuk mengetik kata-kata di Microsoft Word. Cukup panjang, sekitar 70 slide. Bagi Naurra yang jago mengetik, 70 halaman itu dapat dicapai dalam waktu dua jam.
"Nau, berhenti dulu main handphone, tar lo enggak ngerti," ucap Zyan mencibir.
"Duh, ini tugas ngetik Bu Lira. Besok udah harus dikumpul. Liat handphone seharian full ini berharga," kilah Naurra masih sibuk dengan benda pipih di tangannya itu.
"Nungguin lo aja," cibir Zayra.
"Iya, iya. Maaf," gerutu Naurra sambil menyimpan handphone di saku baju.
Pengajaran dimulai. Zyan mengajarkan dengan sesekali canda dan tawa. Hafiz dan Alfa lebih banyak diam daripada mengajar. Mereka berdua terkadang sibuk dengan handphone masing-masing dan membiarkan Zyan sendiri yang mengajar. Tiga spesies cowok pintar di depan para gadis itu membuat mereka geram. Kenapa pikiran mereka tidak sepintar para cowok di depannya? Apalagi Hafiz yang otaknya benar-benar encer. Namun, jika Hafiz mendapat kendala ia akan meminta bantuan Alfa, begitu pun Alfa pada Hafiz. Zyan? Ah, dia males berpikir. Motonya, "Jika ada Hafiz dan Alfa mengapa gue harus berpikir?"
"Ngerti, gak? Gue udah berbusa dua kali ngejelasin," gerutu Zyan. Naurra, Irra, Zayra dan Sandra terkekeh, di antara mereka ada yang menggeleng pelan. Zyan terlihat frustasi.
"Cara lo terlalu ribet, pake cara yang simpel aja," ucap Hafiz beralih melihat pengajaran Zyan.
Kak Haf itu emang kalem banget, ya ... Naurra menopang dagunya.
"Lo mah enak bisa nyimpulin cara yang beda dengan ajaran dosen. Gue cuma bisa ikutin cara rumit para dosen itu," kesal Zyan. Naurra tertawa melihat cowok itu memajukan bibir 2 cm.
Alfa melirik, menaruh handphone di rumput sebelahnya lalu mengambil pena yang tertera di atas kertas, "Gini cara simpelnya,"
Alfa mulai mengeluarkan pikiran jernihnya. Dia mengajarkan dengan pelan dan simpel, membuat para muridnya mengangguk paham. Tidak seperti Zyan yang terburu-buru tadi.
Naurra beralih menatap Alfa yang sedang mengajarkan sistem matematika. Wajah dengan poni yang tertiup angin pagi membuatnya tenang. Unsur khas Timur Tengah yang mengungguli wajahnya membuat beberapa wanita lain melirik dan melempar senyum ke arahnya.
Dia memang tampan ...
"Astagfirullah ..." Naurra tersadar dengan yang dipikirkannya. Tangan lembutnya menepuk kedua pipinya, lalu menggelengkan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teruntukmu, Imamku [SELESAI]
Romance~°°~ "Kalian tau? Tiba-tiba dia melamarku!" Astaga, mimpi apa Naurra semalam? Seorang Alfazhar Farisi, Si Cogan Arab primadona kampus, Si Komisaris perusahaan Kakap Dirgantara Djaya, Si Cowok Populer yang selalu tak ingin kalah debat, tiba-tiba data...