Part 4

1K 117 52
                                    

Seperti apa yang sudah diperingatkan Irene sebelumnya, rute jalan menuju daerah rumah Irene memang harus melewati kemacetan. Bahkan GMaps pun menunjukkan garis berwarna merah untuk semua rute. Sejujurnya Mino adalah orang yang paling anti dengan kemacetan alias musuh bebuyutan dengan macet. Biasanya juga cowok itu akan mengumpat tiap kali mendengar klakson yang saling bersahutan di tengah kemacetan. Tapi untuk kali ini, cowok itu 'berusaha' menikmati kemacetan tersebut.

"Elo biasanya kalau pulang naik apa?" tanya Mino.

"Busway atau nggak ojek online. Kadang kalau Leora selo dia suka nganter gue balik,"

"Kuat banget, Rene... ngadepin macet kayak gini tiap hari,"

"Namanya juga Jakarta, No...,"

"Iya sih... rasanya aneh kalau lihat Jakarta tanpa kemacetan. Eh... elo asli orang Jakarta sini, Rene?"

"Nggak... gue baru pindah ke Jakarta sekitar empat tahun yang lalu. Sebelumnya gue di Bandung," jawab Irene. "Eh, No... gue boleh puter radio? Gue biasanya suka dengerin prambors,"

"Boleh kok, Rene...," Mino mulai memutar radio dan mencari saluran prambors. Cowok itu melirik Irene yang tampak fokus mendengarkan suara penyiar radio tersebut. Mino paham betul kalau Irene berusaha mengalihkan topik pembicaraan. 'Bandung' menjadi kota sekaligus kata yang sangat sensitif bagi gadis itu.

"Gue suka banget sama lagu ini...," ucap Irene ketika suara merdu seorang cewek terdengar dari radio.

"Siapa yang nyanyi?"

"Jennie Kim,"

"Jennie Kim? Artis sekaligus penyanyi yang juga merangkap sebagai model yang lagi naik daun itu?"

"Iya... multitalented banget kan dia... masih muda gitu tapi udah berada di puncak popularitas. She's perfect," ucap Irene dengan mata berbinar penuh kekaguman.

"Elo mengagumi modelan cewek sensaional yang sering kesandung scandal kayak dia?"

Irene menatap tajam Mino dan memukul lengan cowok itu pelan. "Jangan percaya sama semua hal yang diberitain media. Mereka cuma orang-orang yang iri dengan kesuksesan Jennie Kim," bela Irene pada artis belia itu.

"Sorry, Rene... cuma kan yah... gitu deh...," Mino tak berniat melanjutkan pendapatnya saat melihat Irene yang sudah menatap kesal ke arahnya.

"Jennie Kim itu cuma seorang cewek yang berhasil meraih mimpinya di usia muda. Ada kalanya dia pengen ngejalanin hidup kayak remaja biasa seusianya yang jauh dari sorotan kamera. Pergi main sama temen-temennya, ngehadirin pesta ulang tahun sahabatnya, berlibur dengan orang-orang yang disayanginya. Tapi sayangnya media nggak pernah kasih ruang gerak atau membiarkan Jennie Kim untuk sekedar bernapas. Mereka selalu memantau apapun yang dilakukan oleh Jennie Kim dengan harapan bisa menghancurkan kesuksesannya,"

Mino takjub mendengar pembelaan panjang Irene tersebut. Jujur, perihal tentang Irene yang juga ikut menggandrungi Jennie Kim ini, Mino sama sekali belum mengetahuinya. Irene yang menyadari Mino hanya diam mendengarkannya, hanya bisa tertawa pelan. "Jangan heran gitu... gue emang belom pernah berinteraksi langsung sama Jennie Kim, tapi gue sering lihat dia hadir di acara fashion show yang diadain kampus gue sebagai projek mahasiwa tingkat akhir. Dari cara dia menyapa setiap designer amatir aja, gue bisa menilai kalau Jennie Kim jelas nggak seperti yang diberitakan media,"

"I see...," komentar Mino. "Jadi, apakah Jennie Kim adalah muse elo dalam berkarya?" tebak Mino.

Irene tersenyum lebar sambil mengangguk bangga. "Jelas dong... Jennie Kim itu motivasi gue tiap kali gue ngerancang busana. Gue juga punya mimpi bikin clothing line yang suatu saat bakal jadi salah satu fashion favorite Jennie Kim,"

Azalea [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang