Mino menatap lorong serba putih tersebut. Bau alkohol yang sangat khas menyengat menusuk hidungnya. Ia berjalan mengikuti lorong tersebut yang berakhir pada sebuah ruangan serba putih yang di tengahnya terdapat sebuah meja dan dua buah kursi. Ada sekotak kartu bridge di atas meja tersebut. Mino menarik satu kursi dan duduk disana. Ia membuka kotak kartu bridge tersebut dan mengeluarkan tumpukan kartu di dalamnya. Lalu kursi di depan Mino ditarik dan seseorang duduk di kursi tersebut. Mino terdiam menatap lurus pada Kiano.
"Maaf...," ucap Mino dengan lirih. Kiano diam dan hanya menatap Mino. "Sorry for taking your life and your precious Irene...,"
Kiano masih diam dan tidak merespon. Cowok itu mengambil sebuah kartu dari tumpukan kartu bridge. Ia menatap lama kartu yang diambilnya lalu menyerahkannya ke hadapan Mino. Tidak ada gambar melainkan sebuah tulisan.
I'm taking what should be mine...
"No! I will not let you...," ucap Mino dengan tatapan tajamnya. Sedangkan Kiano hanya tersenyum tipis sambil beranjak dari posisinya.
"Kiano! Stop it! I will not let you take her. Please let me have her... Kiano!" teriak Mino sambil berusaha mengejar sosok Kiano yang berjalan menjauh di lorong panjang tersebut.
"Kiano!" pekik Mino.
Mino mengatur napasnya yang tersengal. Merasakan keringat dingin membasahi piyamanya. Degup jantungnya berdetak cepat. Tangan cowok itu meraih gelas yang ada di atas nakas dan meneguk isinya membasahi kerongkongannya yang kering.
"Kiano...," lirih Mino. "Kiano...,"
Tangan Mino meraih dadanya, merasakan jantungnya yang masih berdegup cukup cepat. Berulang kali Mino mencoba mengatur napasnya berharap degup jantungnya segera menjadi teratur. Pikirannya kembali merekam ulang mimpi yang baru saja dialaminya. Setelah sekian lama Mino hampir melupakan kehadiran Kiano, sosok itu kembali muncul pada mimpinya. Setelah sekian lama Mino berusaha untuk menerima dirinya apa adanya, Kiano kembali hadir dan membuat Mino kembali membenci dirinya. Ingin rasanya Mino menjauh dari Kiano namun itu mustahil saat sosok Kiano sendiri hidup di dalam dirinya.
***
Aaron melepas kacamata yang dikenakannya. Menatap pada sosok Mino yang sedang menonton sekumpulan anak SMP berlatih di lapangan softball. Atau lebih tepatnya, Mino yang sedang melamun mengarah pada lapangan softball. Cowok jangkung dengan sepasang mata monolid yang khas itu berdecak pelan melihat sosok Mino yang tampak sedikit menyedihkan. Dilangkahkannya kaki panjangnya mendekati Mino dan duduk di samping sahabatnya itu. Dalam diamnya, Aaron ikut memperhatikan sekelompok anak SMP yang berlatih di lapangan tersebut.
"Dia muncul lagi...," ucap Mino tiba-tiba. Sorot mata cowok itu masih belum beralih dari lapangan softball.
"Siapa?" tanya Aaron.
"Kiano...,"
Aaron mendesah pelan mendengar nama itu disebut oleh Mino. "Now what? Are you regretting everything you've done until now? Ingetkan elo dari awal gue nggak pernah setuju sama ide gila elo ini. Dan gue sangat ngelarang elo balik ke Jakarta hanya buat ketemu Irene. Gue selalu ngelarang elo untuk nggak pernah mencoba hadir di kehidupan Irene dan memperkenalkan diri elo sebagai Mino setelah kejadian empat tahun yang lalu," cerocos Aaron langsung.
Aaron berdecak pelan. "Ini alasan gue kenapa gue selalu ngelarang elo, Mino... ini alasan gue selalu bilang 'berhenti' tiap kali elo bahas masalah ini ke gue? Elo cuma akan nyakitin diri elo sendiri dan Irene akan jadi orang yang paling kecewa kalau dia tahu semuanya,"
Mino tak merespon apa yang diucapkan Aaron. Cowok itu kembali meresapi tiap kata yang diucapkan sahabatnya tersebut. Ini memang bukan kali pertama Aaron memprotes apa yang dilakukannya, bahkan ini sudah kesekian kalinya ia mendengarkan kalimat tersebut sejak empat yang lalu.
"Semuanya udah kacau, Mino... elo yang tadinya hanya berusaha nebus 'kesalahan' itu pada akhirnya sayang beneran ke Irene dan bikin elo semakin terjebak sama 'penyesalan' itu... Elo sendiri yang bikin hidup elo semakin ribet...,"
"Gue harus gimana?" tanya Mino lirih.
"Berdamai dengan masa lalu secara benar... ceritain semuanya dari awal ke Irene jangan ada yang elo tutupin,"
"Tapi gue belom siap...,"
"Elo nggak akan pernah siap, Mino... selama bayang-bayang Kiano masih ada di elo...,"
Aaron menatap tajam sahabatnya itu. "Satu pertanyaan gue... elo sayang Irene sebagai Mino atau karena Kiano?" tantang Aaron, yang diyakininya tidak akan dijawab oleh Mino.
Mino terdiam membisu. Mulutnya bungkam tak mampu menjawab pertanyaan Aaron tersebut. Dalam otaknya, ia mengulangi pertanyaan Aaron tersebut, Ia sayang pada Irene sebagai dirinya sendiri atau karena Kiano?
"Pikirin jawaban dari pertanyaan gue baik-baik...," Aaron beranjak dari posisinya. Ia menepuk pelan pundak Mino lalu berjalan menjauhi cowok itu.
"Mau kemana lo?" tanya Mino sebelum Aaron benar-benar menghilang dari pandangannya.
"Jemput Selena kesayangan gue...," Aaron mengedipkan sebelah matanya lalu kembali berjalan.
"Sialan... dasar bucin," Mino meneriaki Aaron untuk terakhir kalinya. Sepeninggal Aaron, Mino kembali terdiam dengan segala macam pikiran yang berkecamuk di dalam dirinya. Memikirkan kembali pertanyaan Aaron.
***
Suara alunan lullaby yang mengalun dari music globe mengisi keheningan tiap sudut kamar Irene. Tidak ada aktivitas berat yang dilakukan Irene disana. Hanya melamun dengan pandangan mata yang fokus menatap halaman depan rumah dari jendela kamarnya. Jemarinya sibuk memainkan kincir angin, dan pikirannya sibuk melayang pada sosok Kiano yang semalam hadir di dalam mimpinya.
Kiano. Satu sosok yang tidak akan pernah bisa hilang dari otak juga hati Irene. Satu sosok yang sampai saat ini 'mungkin' belum ada yang menggantikan posisinya di hati Irene. Satu sosok yang 'harusnya' menjadi sosok yang selalu ada untuk Irene.
Irene tahu seharusnya ia tidak menyiksa dirinya dengan perasaannya tersebut. Menjebak dirinya sendiri dalam belenggu kenangan empat tahun yang lalu. Membiarkan hidupnya berhenti sejak empat tahun yang lalu. Irene merasa seperti Alice yang membiarkan dirinya terus jatuh ke dalam lubang janji tanpa pernah tahu kapan janji itu akan terbukti ataupun kapan ia harus berhenti berharap pada satu 'janji' itu.
'Janji' itu seperti bom waktu yang kapan saja akan meledak dan menghancurkan perasaan Irene sendiri. Dan Irene sangat tahu akan hal tersebut. Karena perlahan dirinya pun sudah hancur melebur bersama masa lalunya.
***
Mino menatap pantulan dirinya di cermin. Mengamati secara saksama bayangan tersebut. Tangan kanannya terulur menyentuh pentulan di cermin tersebut.
"You're Mino and not Kiano... You're Mino and not Kiano... You're Mino and not Kiano...," ucap Mino berulang bagai merapalkan mantra. Dipejamkannya matanya kuat lalu dibukanya kembali. Pantulan yang ada di cermin masih menunjukkan bayangan dirinya.
"It's my life and not Kiano's... I never took his life... so, I will never let him take my life... and I love Irene as Mino not because of Kiano...," monolog Mino pada pantulan dirinya.
"Let's make a deal, Kiano...,"
**************************************************************************************************
HOOLLLAAAA...
Gue update lagi !!
Dan chapter ini super pendek !!
I know...!!So... kira-kira ada apa antara Mino dan Kiano??
NEXT??
Vote sama Comment dulu jangan lupa like always...XoXo, NonaTembam
KAMU SEDANG MEMBACA
Azalea [COMPLETED]
General FictionMana yang sebaiknya kita pilih antara kebohongan yang manis atau kejujuran yang pahit