Kita tidak pernah tahu apa yang dirahasiakan oleh semesta dari kita. Masa depan selalu menjadi misteri yang tidak pernah bisa kita tebak apa yang akan terjadi nantinya. Terkadang kita juga tidak peka terhadap tanda-tanda yang diberikan oleh semesta pada kita. Sama seperti malam itu, Irene tidak pernah menyangka kalau dunianya akan berubah total.
Malam itu, Irene dan Kiano duduk berdua di teras rumah tante Sella. Sibuk dengan buku sketsa yang ada di pangkuan masing-masing.
"Irene... janji sama aku yah kita bakal selalu sama-sama walaupun nantinya kuliah kita beda jurusan," ucap Kiano tiba-tiba memecah keheningan diantara keduanya.
Dari Irene pertama kali mengenal Kiano di umur sepuluh tahun sampai kemudian mereka ada di kelas dua belas, Kiano selalu berjanji untuk melewati tiap harinya bersama dengan Irene.
"Oke," sahut Irene dengan santainya.
"Pokoknya... nanti aku masuk jurusan arsitektur kamu jurusan fashion design... kita harus sama-sama sukses nantinya. Aku jadi perancang bangunan dan kamu jadi perancang busana. Harus selalu sama-sama yah, Rene...," ucap Kiano lagi.
"Iya Kiano... janji!" sahut Irene mengiyakan permintaan Kiano. "Besok jangan telat! Aku tunggu di depan gedung universitas," ucap Irene mengingatkan rencana mereka besok untuk mendaftar kuliah melalui jalur mandiri salah satu universitas swasta di Bandung.
"Iya... tenang aja aku pasti dateng tepat waktu," janji Kiano. Keduanya kembali sibuk dengan buku sketsa masing-masing. Suara jangkrik di malam hari tampak nyaring menemani keduanya.
"Kiano sayang Irene...," ucap cowok itu tiba-tiba yang membuat Irene serta-merta mengulurkan tangannya menyentuh kening cowok itu.
"Kamu sakit? Tiba-tiba ngomong kayak gitu...,"
Kiano menjauhkan tangan Irene dari keningnya. Digenggamannya tangan mungil cewek itu. "Kiano sayang Irene... selalu... kemarin, hari ini, besok dan nantinya... Kiano akan selalu sayang sama Irene...,"
Irene mengernyitkan keningnya heran. Ditariknya tangannya dari genggaman Kiano. Kemudian ia menarik jari kelingking Kiano dan mentautkannya dengan jari kelingkingnya. "Iya... Irene juga sayang sama Kiano... pinky promise... Irene akan selalu sayang sama Kiano,"
"Deal," sahut Kiano. Gelapnya malam menjadi saksi dua remaja yang saling mengikrarkan janji tersebut. Keduanya saling tersenyum tanpa pernah tahu apa yang menanti mereka keesokannya.
***
Irene berdecak kesal menatap jam tangannya berulang kali. Sudah lima belas menit Irene menunggu di depan gedung universitas dan tidak ada tanda-tanda Kiano akan segera muncul. Semua pesan yang dikirimkannya juga belum mendapatkan balasan satu pun. Entah sudah yang keberapa kalinya, Irene kembali mencoba menghubungi ponsel Kiano.
"Halo, Irene... sorry aku telat... ini aku bentar lagi sampe... baru turun nih dari angkot... aku udah lihat kamu kok lagi berdiri sendiri di depan gerbang... jangan cemberut dong mukanya...," cerocos Kiano tanpa memberi kesempatan Irene untuk melakukan protes.
"Arah jam tiga, Irene... nih lagi jalan ke arah kamu," ucap Kiano yang langsung membuat Irene mencari sosok jangkung cowok itu. Tepat saja Kiano berada di seberang jalan dan sedang mengarah padanya.
Irene secara samar mengingat bagaimana rasanya waktu berlangsung begitu cepat seperti saat kita menekan fast-forward pada pemutar film yang membuat film berjalan menjadi lebih cepat. Yang Irene ingat dengan pasti adalah suara teriakan orang-orang di sekelilingnya, asap yang mengepul dari sebuah mobil, kaca pecah yang berserakan di jalanan, sebuah motor yang hancur tergeletak di tengah jalan, juga darah yang menggenangi aspal. Terlalu banyak darah yang keluar dari kepala seorang cowok yang terbaring kaku di jalan. Seorang cowok yang menjadi korban kecelakaan beruntun. Seorang cowok yang seharusnya berdiri disamping Irene dan bukan terbaring sekarat di jalanan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Azalea [COMPLETED]
General FictionMana yang sebaiknya kita pilih antara kebohongan yang manis atau kejujuran yang pahit