Chapter 4

22 22 0
                                    

Keesokannya, sekolah libur dikarenakan guru-gurunya sedang jalan-jalan, entah dalam rangka apa. Kemarin, sebenarnya Adel tidak ingin sekolah, karena kemarin adalah hari 'kejepit' menurutnya, tapi, karena Legan yang sudah datang untuk mengajaknya berangkat bareng, dia jadi tidak tega untuk menolak. Dan untuk ke berapa kalinya dia mendengus jengkel. Tadi, Mervin datang ke rumahnya dan mengajaknya ke Marsherl, tapi, setelah sampai di Marsherl, laki-laki itu malah melamun dan menatap lurus kebelakang Adel.

"Kak? Kak Lucixto itu ngeliatin apa sih? " tanya Adel setelah satu setengah jam mereka terdiam.

Mervin mengerjap lalu menatap Adel. Laki-laki itu tersenyum. "Kan udah gue bilang, jangan panggil gue dengan embel-embel sopan itu."

Adel mengangkat bahunya acuh lalu menoleh ke belalang, mencari apa yang menarik sampai laki-laki didepannya ini menatap kebelakangnya melulu. Tapi, yang dia dapati hanya air hujan. Karena dibelakangnya adalah kaca yang menampilkan jalanan basah.

Lalu ia kembali menatap Mervin. "Kakak suka sama air hujan ya?"

Mervin tertawa renyah. "Gak lah! Gue kan sukanya sama cewek didepan gue."

Pipi Adel langsung memerah begitu mendengarnya, gadis itu menggigit bibir bawahnya. "Ish, gombalannya receh."

"Receh tapi blushing," celetuk Mervin.

"Enggak! " bantah Adel "Kak-"

"Lucixto, please? " pinta Mervin.

Adel menghela nafasnya pelan lalu mengangguk. "Sebenarnya, hubungan kita ini apa sih?"

Mervin menyeringai didalam hati. Bendera perang telah berkibar, eh?, batinnya. Laki-laki itu menaikan alisnya sebelah.

"Lo mau nya apa? " tanyanya.

"Ya ... kita ini temen bukan, pacar bukan, mantan bukan, gak kenal bukan, musuh bukan" ujar Adel. "Terus, akhir-akhir ini, lo aneh banget."

"Yaudah," Mervin berdeham sebentar lalu menatap kebelakang Adel sekilas, dia menatap Adel serius, "lo mau gak jadi pacar gue? "

Adel membeku begitu mendengarnya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Darahnya berhenti mengalir dan wajahnya memerah. Ah, paru-parunya juga seakan tidak menerima oksigen yang masuk. Dan itu membuatnya sesak. Ini terlalu mendadak baginya.

"Tap-"

"Jangan jawab sekarang, nanti aja kalau perasaan lo sama gue udah bener-bener fix," potong Mervin.

Laki-laki itu tersenyum lembut. Lalu tangannya mengelus pelan rambut Adel. Adel tersenyum paksa. Bagaimana dia tidak terpaksa, dia baru saja ingin menjawab pertanyaan Mervin, tapi, sudah dipotong duluan.

"Pulang, yuk?" ajaknya yang dihadiahi anggukan Mervin.

Tanpa dia sadari, dibelakangnya, ah tidak, diluar Marsherl terdapat gadis berpayung hitam polkadot dengan rambut yang sengaja ia cat berwarna ungu. Gadis itu menatap hujan dengan serius. Tanpa berniat menoleh ke arah mereka.

---

Gera menghela nafasnya berat. Sesekali melirik handphone dan jam dinding kamarnya. Benda flat berbentuk persegi panjang itu tetap tidak menandakan bahwa ada tanda-tanda pesan datang. Sementara jam dindingnya sudah menunjukkan pukul dua belas lewat sepuluh menit malam. Dia menutup matanya berharap kantuk menyerangnya. Namun, nihil. Malam ini dia seperti ikan, tidak merasakan kantuk sekalipun. Dia sudah melakukan ritual menghela nafasnya sejak dia pulang dari Marsherl ah, tepatnya saat dia mampir ke Marsherl sehabis jooging. Jangankan mandi, makan saja belum. Astagfirullah, untung saja Gera tidak melupakan ritual shalatnya.

Nothing Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang