Chapter 17

11 6 0
                                    

Adel mengerjapkan matanya berkali-kali. Sinar matahari yang masuk ke matanya membuatnya terbangun meski masih sangat mengantuk. Gadis itu menoleh kearah kirinya. Kearah dimana matahari masuk. Beberapa detik kemudian, gadis itu menyentuh pelan lehernya. Baru menyadari bahwa dia bisa menengok dengan sempurna. Begitu menyadari tidak lagi ada alat rumah sakit yang sangat menyebalkan itu, Adel langsung terduduk. Gadis itu menoleh kearah kanannya. Ada Emma yang sedang beribadah. Adel mengerutkan dahinya bingung. Dengan cepat, Adel melihat jam. Pukul sembilan kurang lima belas menit. Shalat dhuha.

"Eh, anak Emma yang paling imut udah bangun," Emma yang sedang merapihkan mukenanya menatap Adel sekilas.

"Iya, dong. Seneng, Tante, bisa nengok," Adel tersenyum lebar sambil memamerkan lehernya.

Emma menghampirinya begitu sudah selesai merapihkan semuanya. "Lima menit lagi Tante jemput Ari."

Adel mengangguk. "Pengen ke balkon, Tante."

Emma mengangguk dan mengatur bankar rumah sakit agar memungkinkan untuk Adel turuni. Setelah itu, Emma membantu Adel turun. Wanita itu memegang infusan Adel dan mengikuti kemana Adel berjalan dengan perlahan. Gadis itu membuka pintu balkon. Dan sedetik kemudian Adel tersenyum lebar. Mungkin hanya jalanan dan beberapa toko serta parkiran rumah sakit. Namun, entah kenapa Adel menyukainya.

"Udah hampir satu hari disini, sekarang aku baru 'ngeh' kalau ini rumah sakit yang suka aku lewatin kalau sekolah," Adel tersenyum melihat pemandangan didepan.

"Hehe, Tante lupa gak bilang," Emma berdiri dibelakang Adel sambil melihat sekitarnya.

"Aku jadi kangen sekolah," Adel tersenyum kecut. "Pasti mereka lagi gak sabar mau istirahat."

Adel menatap pemandangan dihadapannya penuh takjub. Padahal, hanya beberapa kendaraaan dan manusia yang berlalu lalang. Juga bangunan toko-toko, namun Adel merasa dia bebas. Namun, saat matanya menatap kearah parkiran, dahinya mengerut begitu melihat mobil jazz yang dikenalnya. Plat nomornya dia ingat. Tapi, pemiliknya dia lupa.

"Tan," Adel menunjuk kearah mobil itu. "Kok, itu aku kayak yang pernah liat, ya?"

"Iyalah, 'kan itu mobil gue."

Mendengar suara Emma berubah menjadi berat dan serak. Adel langsung terkejut dan hampir terjatuh. Matanya menatap Gera yang menatapnya geli dengan baju bebasnya. Dan, shit, Gera always look perfectly. Menyadari tidak seharusnya Gera disini, Adel langsung menatap Gera tajam.

"Lo bolos?"

Gera menggeleng. Sedetik kemudian laki-laki itu berekspresi suram seakan-akan dia kesakitan. Tangannya menyentuh dahinya. "Aduh, Bunda, Gera pusing."

Adel mengangguk mengerti sambil tersenyum miring. "Pencitraan, ya, bagus."

"Enggak, beneran, kok," Gera menarik tangan Adel dan meletakkannya kedahinya.

Dan benar, panas. Adel juga tidak menyadari bahwa wajah Gera sangat pucat dan terlihat seperti mayat berjalan. Mungkin karena kepercayaannya yang mengatakan bahwa Gera selalu tampan dimana, dengan siapa, dan dengan apapun itu. Makanya dia tidak menyadari bahwa Gera sakit. Adel mengusap lembut dahi Gera. Sama seperti yang Gera lakukan saat pernikahan kakaknya Gera.

"Udah minum obat?"

Gera mengangguk. Laki-laki itu menjilat bibir bawahnya. Membuat yang tadinya sedikit pucat menjadi memerah sedikit. "I'm okay."

"Kenapa lo kesini? Harusnya lo istirahat, Gera," Adel menatap Gera khawatir.

Gera tersenyum lembut. "Lo 'kan obatnya."

Nothing Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang