Chapter 15

14 8 0
                                    

"Gue suka sama lo."

Deg.

Adel langsung menghentikan gerakan dansanya. Lututnya lemas, badannya langsung panas dingin. Gadis itu mendongkak dengan ragu. Wajah terkejutnya menatap Gera shock. Jika ini mimpi, bangunkan dia sekarang juga.

"Prank, ya?" tanyanya hati-hati.

Gera menatap Adel dalam, tanpa mengatakan apapun. Dan tiba-tiba saja Adel merasa bersalah. Gadis itu langsung menggigit bibirnya.

"Gue gak tau mau dan harus ngomong apa," Adel langsung membuang wajahnya. Dia hanya tidak ingin melihat mata Gera.

"Lo belum baca diary nyokap lo, ya?" tanya Gera hati-hati.

Adel membuang nafasnya berat. Gadis itu menatap Gera ragu. "Gue belum siap."

Gera tersenyum lembut. "Kalau lo butuh orang buat nemenin lo baca diary nya, gue siap."

Adel mengangguk sambil tersenyum kecil. "Iya, makasih. Cuma gue gak tau harus jawab apa."

"Gue gak bilang harus jawab sekarang."

Adel menatap Gera lama. "Tapi, gue ... bingung. Gue gak tau harus ngapain."

Gera mengangguk mengerti. "Anggap aja gue gak pernah bilang apa-apa."

"Sori Gera, gue janji gue bakal jawab. Tapi gak sekarang."

Gera lagi-lagi tersenyum lembut. Membuat Adel lagi-lagi merasa bersalah karena dia yang masih bimbang.

---

Rian menyeruput coklat hangat sambil berjalan kearah tangga menuju rooftop. Namun, saat melihat pintu kamar adik semata wayangnya terbuka, pria itu terdiam. Dengan penuh hati-hati, Rian mengetuk pintu itu. Namun, tidak ada jawaban. Begitu pula ketiga kalinya. Dengan dahi berkerut, pria itu mendorong pelan badan pintu bercat putih itu.

Seketika badannya membeku begitu melihat adik satu-satunya terduduk dilantai marmer yang dingin. Rian langsung menghampirinya. Diletakkannya coklat panas di meja belajar adiknya. Disana, Adel terduduk sambil menundukkan kepalanya. Pakaiannya masih sama, gaun peach dibawah lutut beberapa centi.

"Adel?"

Gadis itu mendongkak. Matanya sembab, make up nya berantakan. Rian terdiam. Pria itu melihat buku yang ada di pangkuan adiknya. Seketika hatinya seakan diremas. Laki-laki itu tersenyum getir sambil memeluk adiknya. Adel menangis histeris begitu Rian memeluknya.

"Gak apa-apa," berkali-kali Rian bergumam seperti itu.

Adel langsung mengelap air matanya begitu Rian sudah melepas pelukannya. "Adel jahat, Bang."

"Gak, kamu gak jahat, Ly."

"Adel udah anggap Papa gak sayang sama Adel. Adel udah buat Mama meninggal. Adel jahat," Adel menangis lagi begitu mengingat kenyataan bahwa Papa dan Mamanya sudah tidak ada lagi disini.

"Udah, jangan nangis lagi," Rian mengelap air mata adiknya dengan ibu jarinya. Laki-laki yang sebentar lagi seperempat abad tersenyum lembut. "Gue bikin coklat, katanya bisa buat kita gak sedih."

Adel berhenti menangis. Gadis itu langsung ikut tersenyum. Tangannya menengadah keatas. "Ambilin."

Rian mengerutkan dahinya aneh. "Apaan, ini punya gue. Lo bikin sendiri!"

Adel mengerucutkan bibirnya kesal. Gadis itu menghela nafasnya pelan sambil meletakkan buku dipangkuannya itu di pinggiran kasur. Tanpa mengucapkan apapun ke Rian, gadis itu langsung berdiri dan keluar dari kamarnya begitu saja. Menyisakan Rian yang juga berdiri sambil terkekeh kecil. Rian mengambil coklat panasnya dan menyeruputnya sedikit. Matanya melirik sekilas buku yang berada dipinggiran kasur.

Nothing Without YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang