EPILOG

5.3K 285 74
                                    

Playing: Make You Feel My Love - Adele

♬♬♬

Kemarin, dan juga tadi saat di pemakaman, Hans mungkin masih bisa menahan tangisnya. Tapi, ketika ia masuk ke dalam rumah rooftop ini, tangisannya pecah. Hans tak bisa menahannya lagi. Kehilangan puterinya bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi mengingat apa yang ia lakukan sebelum Licia pergi, membuat Hans sangat menyesal. Dia marah pada dirinya sendiri. Dia merasa telah gagal menjadi Ayah dan juga kepala keluarga.

Kalau saja pikirannya bisa sedikit lebih dingin, kalau saja dia tidak semudah itu mempercayai berita yang beredar, mungkin semuanya tak akan seperti ini. Ya, Hans memang bodoh. Dia adalah Ayah yang tolol dan dia sangat membenci itu.

Ketika Hans masuk ke dalam kamar Licia, Hans bisa mencium aroma Licia. Mata Hans beredar menatap ke seluruh ruangan. Ketika matanya menatap pada sebuah figura besar berisi fotonya dan juga Licia, saat itu juga tangisannya mengeras. Belum genap sehari Licia pergi, Hans sudah sangat merindukan puterinya itu.

Hans merindukan senyuman Licia, tawa Licia yang renyah, Hans rindu Licia bermanja-manja pada dirinya, Hans rindu menari bersama dengan puterinya. Dulu, Hans mengira saat Licia menikah, dia akan berdansa bersama dengan Licia di hari pernikahannya. Tapi, ternyata semua itu kini hanya tinggal angan-angan dirinya saja karena sekarang, Licia sudah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Bahkan sebelum mereka menyelesaikan langkah akhir mereka.

Badan Hans jatuh ke lantai. Sambil menyandarkan punggungnya pada ranjang, Hans menangis. Dia merutuki dirinya. Hans menyumpahi dirinya. Kini, bayang-bayang penyesalan mulai menghantuinya. Kata 'seandainya' akan selalu mengejar Hans kemanapun dia pergi.

Seseorang mengusap punggungnya. Hans mendongakkan kepalanya dan menemukan Aluna yang menatapnya lembut. Aluna memeluknya erat. Tangannya mengusap pelan punggung Hans.

"Aku tau kau akan kesini Hans," ucap Aluna. "Kau selalu saja seperti ini. Bersikap seolah kau kuat, mampu menahan segalanya. Tapi, perlu kau ingat, kau juga masih manusia, kau masih memiliki hati. Ada kalanya kau juga lemah."

"Luna," panggil Hans pelan. "Aku benar-benar sangat menyesal. Aku sudah berbuat jahat pada puteri kita." Hans menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Aluna. "Saat itu dia membutuhkan bantuan. Tapi, bukannya membantu, aku justru menjauhinya dan mengusirnya. Aku, aku memang Ayah yang tak berguna. Aku adalah Ayah yang jahat."

"Bukan hanya kau Hans. Kita semua sudah bersikap jahat pada Licia. Kita yang adalah orangtuanya, bukannya merangkulnya saat ia di timpa masalah. Tapi, kita justru mendorongnya untuk menjauhinya hingga akhirnya kita kehilangannya untuk selamanya.

"Aku mengusirnya Luna. Aku menyuruhnya untuk pergi. Dan sekarang, dia menepati janjinya, dia tidak akan pernah muncul lagi dihadapanku. Licia memang anak yang baik. Dia selalu menuruti apa yang aku katakan."

"Hanya saja, hanya saja, untuk masalah ini, aku justru berharap kalau Licia akan melanggar perintahku dan tidak pergi." Hans menangis menggugu. "Aku menyayanginya Luna. Demi Tuhan, aku sangat menyayangi Licia sama seperti aku menyayangi Ken dan Nick."

"Aku tau Hans. Aku tau karena akupun sama denganmu. Aku juga sangat menyayanginya. Tapi, mau bagaimana lagi? Kita tidak bisa melawan takdir Hans."

"Aluna, kau tau? Aku merasa sangat berdosa pada Arman dan Nina. Di depan mereka, dengan penuh keyakinan, aku mengucap janji kalau aku akan merawat Licia dan menjaganya selayaknya dia adalah puteri kandungku sesaat sebelum aku membawanya pergi." Hans tertawa getir. "Tapi sekarang, lihatlah. Karena kecerobohan dan kebodohanku, Licia pergi. Kini, aku tak bisa menatap kedua mata Arman maupun Nina lagi. Aku tidak berani Aluna."

Perfect Imperfection [bullyingstorry1] COMPLETED #wattys2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang