Kantor kepolisian kota New York.
Mataku tak bisa berhenti menatap kepulan uap panas yang muncul dari permukaan cangkir di hadapanku. Beberapa menit yang lalu, Jack ke ruanganku dan meletakkan vanilla latte di atas meja. Sembari terus mengingatkanku bahwa petugas tengah menyelidiki TKP dan juga mengatakan semuanya akan-akan baik saja.
Mungkin ya--atau juga tidak. Saat aku dan Anna bertemu malam itu, wajahnya memang tampak tak asing. Ia mungkin terdengar seperti membicarakan hal yang omong kosong, tapi tubuhku juga tak dapat menyanggah apapun dari setiap perkataannya.
Namun, mungkinkah itu? Mungkinkah jika aku benar-benar di sana--bersamanya--menyaksikan Ben menderita? Tapi kenapa aku tidak bisa ingat?
Sungguh menyebalkan. Semenjak kecelakaan itu, hidupku benar-benar tak terkendali lagi. Dokter menyebutnya gejala Alzheimer, karena adanya cedera kepala yang menyebabkan fungsi sel-sel saraf atropi di dalam kepalaku ini menurun.
Awalnya kupikir dokter itu hanya bergurau--agar aku lebih berhati-hati saat suatu hari mengemudi--tapi nyatanya, semua ini bukan hal yang main-main.
"Kau belum meminumnya?"
Suara Jack yang mendadak muncul dari balik pintu membuatku sempat terperanjat. Sedangkan pria berotot besar itu hanya berjalan santai dan duduk di hadapanku. Wajahnya tampak tak berdosa, meski sebenarnya bisa saja dia membuatku terkena serangan jantung siang itu. "Mau mendengar kabar bagus?" sambungnya.
Yang kontan membuat keningku berkerut dalam. Penasaran. "Tentang apa?"
"Anna Prescott."
Mataku melebar spontan dan detik setelahnya, kucondongkan tubuh ke arah Jack. Aku tentu menatapnya antusias setelah itu. "Ada kabar apa?"
"Petugas TKP menemui beberapa saksi yang mengatakan bahwa mereka sempat melihat Anna bepergian dengan seorang anak laki-laki yang secara fisik sangat mirip dengan Ben Addison," terangnya perlahan.
"Sungguh?" tanyaku penasaran. "Lalu dimana Ben sekarang?"
Namun Jack mengecewakanku. Ia mengedikkan kedua bahunya cepat dan menggeleng lemah. "Tak ada yang tahu," tukasnya putus asa. "Anna bukanlah tipe tetangga yang suka bertegur sapa dengan orang lain. Tabiatnya buruk sehingga banyak dihindari oleh yang lainnya."
Aku menghela napas panjang--mungkin lebih terdengar seperti melepas kecewa.
"Tapi dengan kematian Anna Prescott, bukankah seharusnya kita tahu bahwa satu-satunya yang berhubungan dengannya adalah Tuan Daniel Addison?" lanjut Jack.
Otakku berpikir cepat. Benar juga. "Lalu bagaimana dengan sampel darahnya?" dan mataku kini tertuju pada Jack, pria bertubuh atletis yang tengah mengusap dagunya.
"Hari ini sampel darahnya keluar. Tapi bagaimana dengan Carl?" Jack justru balik bertanya. "Apa kau sudah menanganinya?"
Tentu belum.
"Aku belum bicara lagi dengannya karena terlalu shock dengan kematian Anna," dalihku. "Tapi kemungkinannya sangat kecil, mengingat dialah orang yang bersikeras untuk menemukan Ben." Aku-pun mengangkat kedua bahuku cepat. "Dia bahkan pergi bersama kita kemarin. Haruskah kau terus mencurigainya, Jack?"
Kemudian pria bermata cokelat itu mencebik. "Jangan terlalu berpihak kepadanya. Kita tidak benar-benar tahu, siapa pria itu."
Aku hendak menimpali perkataan Jack barusan, tapi getaran yang berasal dari ponselku berhasil memecah suasana. Kurogoh saku blazer-ku untuk segera mengetahui siapa yang menghubungiku siang itu dan yang kutemukan di sana adalah nama Carl.
Panjang umur sekali.
"Ya? Ada apa Carl?"
Dan hal setelahnya yang kudengar benar-benar membuatku terkejut hingga membuatku refleks berdiri dari kursi dan menoleh pada Jack.
"Kau menemukan Ben?"
T H E L O S T B R O T H E R
A NOVEL BY
NUROHIMA
Follow instagram di ;
helloimaaa / novelhelloimaaa
~
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Brother (TAMAT)
Mystery / ThrillerCarl Addison kehilangan adik laki-lakinya, Ben Addison tepat dua hari setelah ia dipecat dari pekerjaannya. Pihak kepolisian hampir menutup kasus yang dianggap sebagai kenakalan remaja biasa itu kalau saja Carl, tidak bersikukuh menyanggahnya dan me...