Carl's house, New York.
"Carl, bisakah kita membuat hubungan Ayah dan Ibu menjadi lebih baik?"
Aku mendesah kasar dan menghela napas berat. Seperti rasanya beban di pundakku semakin bertambah berat setiap harinya. Dadaku terasa hampa, seolah terlubangi oleh perasaan sedih dan kehilangan Ben yang begitu nyata.
Jauh dari itu, rasa penyesalanlah yang menjalar cepat ke setiap bagian tubuhku. Rasanya seperti ia membunuh setiap sel bahkan sampai yang terkecil.
"Dimana kau, Ben?" Aku bermonolog, seolah langit-langit kamarku tengah mendengar lirihan itu.
Suara langkah yang kini bertumpang tindih terdengar menjauh di lantai bawah. Apa para polisi itu akan pergi?
Biarlah, aku tak peduli.
Aku hendak mengeluarkan ponselku dari saku celana dan menghubungi Nate--temanku--yang justru berakhir dengan ketidakfokusanku, hingga ponselku terjatuh ke lantai.
Tubuhku bergerak bangkit dan berusaha meraih ponselku yang tak sengaja jatuh dan tergeser hingga ke kolong ranjang.
Sampai tiba-tiba, aku merasakan sesuatu di tanganku.
Aku menemukan ponselku berada di sebelah satu gantungan berstiker led pemberian Ben untukku. "Ini... hadiah dari Ben," kataku senang saat itu.
Rasanya seperti benda kecil berbentuk bintang itu bisa meredamkan rindumu secara ajaib. Benda itu benar-benar membuat perasaanku menjadi lebih baik.
Aku-pun memutuskan untuk memasang gantungan yang dilengkapi stiker bercahaya itu ke ponselku. "Ben selalu berkata, lampunya akan menyala saat kami berdekatan." Aku mendengus geli. "Dan sekarang kau membuat lampunya padam, Ben," ucapku seolah Ben berada tepat di hadapanku.
Menatap benda kecil itu lebih lama, membuatku semakin bertanya-tanya. Apa yang membuat Ben lebih memilih gadis bernama Ashley sebagai seseorang yang mungkin bisa dimintai bantuan. Kenapa bukan aku? Atau setidaknya polisi, kurasa.
Apa Ben benar-benar dalam keadaan terdesak sampai dia tak memiliki waktu untuk melaporkannya kepada polisi?
Aku buru-buru beranjak dan bergegas menuju suatu tempat dengan motorku.
Bahkan aku rela menerobos kerumunan wartawan dan menabrak beberapa kamera yang meliput demi bisa keluar dari rumah.
Masa bodoh dengan orang tuaku. Mereka bukan lagi orang tuaku.
Aku menghentikan motorku begitu sampai di taman kota New York. Tidak banyak yang berubah. Anak-anak masih bermain dengan ayunan, bola-bola plastik dan kolam pasir buatan yang ada di sana.
Sampai sesuatu mengejutkanku.
Seorang gadis kecil bermata hijau terang tiba-tiba menghampiriku. Ia menatapku dingin sebelum akhirnya berkata, "Kenapa kau baru datang sekarang?"
"Kau..." Aku memicing curiga. "Ashley?"
Dan gadis berpipi tembam itu mengangguk mengiyakan.
"Aku sungguh tidak mengerti dengan semua ini." Aku berjalan menuju salah satu bangku taman dan Ashley mengikutiku. "Kenapa kau ada di sini dan seolah-olah kau sudah menungguku," ungkapku terus terang, kemudian kami duduk bersebelahan.
Gadis itu kemudian menatapku sedih. "Aku ingin kau menemukan Ben, dia sahabatku," ucapnya. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari kantung roknya yang berwarna hitam.
Sebuah kotak biru.
"Kotak itu... apa itu hadiah ulang tahunmu?"
Namun Ashley tak menjawab pertanyaanku. Ia justru menggumam dengan suaranya yang lirih. "Aku butuh kata sandinya, Carl."
Keningku kontak berkerut dalam. "Apa?"
"Kata sandinya." Ia mengulang pertanyaannya dengan ragu-ragu, tampak sedikit cemas.
"9-1-1."
Ashley menggeleng lemah. "Kurasa kau bisa mencoba dengan sesuatu yang lain," katanya seraya menundukkan kepala. "Ben mungkin memiliki sebuah keinginan yang tersimpan dalam di lubuk hatinya. Apa kau tahu ini semua tentang apa, Carl?"
Ia mendongak, menatap mataku dengan pandangan khawatir. Aku bahkan dapat merasakan kehilangan yang besar hanya dengan menatap iris hijau miliknya.
Kami beradu tatap untuk beberapa saat sampai sesuatu terlintas di kepalaku.
Lalu aku menarik napas panjang sebelum akhirnya mengucapkan, "Carl, bisakah kita membuat hubungan Ayah dan Ibu menjadi lebih baik?"
Kedua iris emerald itu langsung mengembang sempurna setelah aku mengucapkannya dan perlahan kedua sudut di bibir Ashley yang mungilpun juga menampakkan sebuah senyum senang. "Ini bukan hadiah ulang tahunku, aku berbohong soal itu." Ashley menyodorkan kotak biru itu padaku. "Ben memintaku menyimpannya sampai kau datang padanya."
Aku menatap Ashley lurus. "Apa kau tahu apa isinya?"
Dan ia menggeleng cepat. "Ben tidak membiarkanku membuka kotak biru itu. Dia bilang, aku akan dalam masalah jika melakukannya."
"Aku mengerti." Aku mengusap puncak kepala Ashley lembut. "Terima kasih sudah menjadi sahabat yang baik untuk adikku, Ash."
Dengan cepat, kubuka kotak biru yang kini berada tepat digenggamanku. Rasanya seperti bom waktu akan meledak dan tubuhku mendadak bergetar saat satu-satunya kata yang kutemukan di dalamnya adalah...
"Carl, senang kau menemukanku. Buku diary ini akan menuntunmu padaku jika dia tetap membiarkanku hidup.
Dariku,
Ben."
T H E L O S T B R O T H E R
A novel by
Nurohima
~
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Brother (TAMAT)
Misterio / SuspensoCarl Addison kehilangan adik laki-lakinya, Ben Addison tepat dua hari setelah ia dipecat dari pekerjaannya. Pihak kepolisian hampir menutup kasus yang dianggap sebagai kenakalan remaja biasa itu kalau saja Carl, tidak bersikukuh menyanggahnya dan me...