Midnight Star

2.1K 272 31
                                    

Carl's house, New York.


Aku mengendus aroma musk atau amber dari seseorang. Perlahan, aku juga merasakan belaian lembut nan hangat di salah satu pipiku. Ia tampak merapihkan helai-helai rambutku yang mulai jatuh menutupi wajahku.

Tunggu...

Aku membuka mataku dan membulat seketika saat menemukan kami--aku dan Carl--masih berada di dalam lemari. Bedanya, pintu lemari sekarang dalam keadaan terbuka.

"Carl?"

Wajahnya terlihat datar dan mata cokelat itu menatapku lekat. Selang beberapa detik, tubuhnya tumbang kepadaku dan tangannya mendekapku erat.

"Carl, apa kau baik-baik saja?" tanyaku memastikan.

Ia menenggelamkan kepalanya di tengkuk leherku dan napasnya mulai terdengar tak beraturan.

Carl terdengar terisak.

Aku mencoba mendorong tubuhnya agar dapat memastikan, tapi lelaki itu masih bertahan dan memelukku lebih erat. "Jangan lepaskan, Sky," katanya lirih. "Sebentar saja, kumohon."

Aku berusaha menstabilkan napas dan jantungku yang mendadak berdetak tak beraturan.

Sampai akhirnya dekapan Carl merenggang dan ia memundurkan tubuhnya dariku. Matanya terlihat sembab dan masih berkaca-kaca.

Dan aku kontan menyekanya pelan. "Apa aku melewatkan banyak hal, Carl?"

Ia terkekeh mencemooh. "Satu-satunya yang kau lewatkan adalah gaya bercinta mereka yang payah," ejeknya, lalu beranjak keluar dari lemari.

Akupun ikut bangkit dari tempat yang sempit ini. "Hey, apa aku tertidur sangat lama?" dan kurapihkan pakaianku yang terlihat kusut, serta rambut yang berantakan. "Omong-omong, dimana mereka?"

Carl menghela napas panjang dan duduk kembali di pinggir jendela kamar Ben. "Mungkin Ben memang pergi karena keinginannya sendiri," tukasnya. "Semua orang di sini mulai membicarakan hal buruk tentang keluargaku, tapi aku menyangkalnya. Berusaha mempercayai apa yang selama ini aku yakini. Tapi pada akhirnya, kita akan selalu menemukan kebenarannya sendiri, bukan?"

Aku mendekatinya dengan duduk di pinggir kasur, sementara Carl mulai mengeluarkan sepuntung rokok dari saku celananya dan menyalakannya dengan pemantik.

"Ben mungkin bersembunyi di salah satu rumah saudara kami atau mungkin dia memang menggunakan tabungannya untuk menghindari keluarganya yang buruk ini," sambung Carl. Ia terdengar sedih saat itu. Kedua matanya juga mengawang entah kemana. "Kau juga bisa mengatakan bahwa keluarga ini memang buruk atau kacau, atau apapun, yang menjelaskan kenapa Ben tidak ingin tinggal."

Akupun menarik napas pendek sebelum akhirnya berkata, "Tidak ada keluarga yang benar-benar sempurna di dunia ini. Kita hanya perlu bersyukur atas apa yang kita miliki, Carl."

Carl menoleh, memandangku dengan pandangan dingin. Tapi pada akhirnya ia hanya memilih diam dan kembali sibuk dengan rokoknya.

"Mari kita mencari angin segar di luar. Asap rokok tak baik untuk kesehatanmu," ucapku seraya bangkit dari kasur. Aku menghampirinya dan meraih lengannya. "Aku ingin menunjukan sesuatu untukmu."

Namun Carl hanya menaikkan satu alisnya saat melihatku.

"Sekali ini saja, kumohon," pintaku padanya.

Dan Carl akhirnya turun dari tepian jendela kamar Ben dan mematikkan rokoknya. Aku mengajaknya ke suatu tempat di ujung jalan Manhattan untuk melihat sesuatu dan menuju ke sana dengan motornya besarnya itu. Tapi kali ini, ia tak membawanya dengan kecepatan tinggi seperti sebelumnya.

Sehingga aku dapat lebih nyaman berpegangan padanya dan merebahkan kepalaku di punggungnya.

"Di sini?" tanya Carl begitu kami sampai di area perbukitan kota New York.

Akupun langsung turun dari motornya dan mengangguk mengiyakan. Bahkan kuputuskan untuk menggenggam tangannya sekali lagi, begitu ia turun dan memarkirkan motornya di sana.

Tempat ini adalah tempat yang sering diceritakan Ibuku dan aku tidak pernah benar-benar ke tempat ini sebelumnya.

Ini kali pertama untukku datang ke bukit bintang ini dan kurasa berlaku juga untuk Carl.

Kami duduk di atas rerumputan hijau yang agak lembab karena suhu yang cukup dingin malam itu. Aku mendongak dan menunjuk susunan bintang di langit kepada Carl. "Carl, lihat! Bukankah mereka cantik?"

Bintang-bintang itu bersinar terang saat tengah malam. Memberi ketenangan pada kasus Ben yang rumit ini untuk sejenak. Kupikir akan bekerja dengan cara yang sama dengan Carl.

Aku menoleh ke arahnya dan kudapati iris cokelat gelap itu tengah memandangku.

Aroma amber bercampur kayu itu lagi-lagi menyeruak masuk ke indera penciumanku saat Carl mendekat.

Dan yang kami lakukan setelahnya adalah saling menutup pandangan kami dari sekitar, sementara bibir kami bersentuhan di bawah ribuan bintang tengah malam yang tengah bersinar malam itu.

Bukankah aku juga harusnya bersyukur atas kasus hilangnya Ben ini. Berkatnya, aku dapat bertemu dengan Carl. []

T H E  L O S T  B R O T H E R
A Novel by
Nurohima
~

The Lost Brother (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang