Carl's house, New York.
Aku berdiri di depan pintu rumah keluarga Addison--lagi--pagi ini. Carl memang menolak penawaranku saat terakhir kali kami bertemu, tapi kurasa aku bisa mencobanya lagi sekarang.
Aku benar-benar tidak ingin kehilangan kasus pertamaku.
Aku tidak hanya menggunakan pantsuit serba hitam untuk menunjukkan keseriusanku, tapi sekotak waffles yang kubawa ini juga akan kuberikan pada Carl. Anggap saja aku sedang menyuapnya agar aku tidak kehilangan kasus pertamaku di New York.
Setelah mengetuk pintunya dua kali, tidak kusangka, bahwa Carl-lah yang membukakan pintu rumahnya untukku.
Dia menggunakan kaos polos berwarna hitam dan celana denim. Wajahnya tidak lagi sepucat kemarin saat kami pertama kali bertemu.
Ia langsung mendesah saat melihatku. "Mau apa lagi ke sini?"
Aku mencoba tersenyum kepadanya, walau sebenarnya tubuhku ingin melakukan yang lain;meninju wajah menyebalkan itu.
"Membantumu menemukan Ben," kataku antusias.
"Tidak perlu!" Carl hampir saja menutup pintu rumahnya jika aku tidak memasukkan tanganku ke celah pintu dan menghalanginya.
Carl menoleh tajam ke arahku. "Singkirkan tanganmu dari pintuku!"
Tanganku menggoyang pelan, memberi tanda padanya bahwa di tanganku terdapat sekantung waffles yang kurasa aromanya bisa tercium oleh Carl. "Mari bicara sebentar," kataku.
Selang beberapa detik, barulah Carl mau membukakan pintu rumahnya untukku dan membiarkanku--dengan terpaksa--menyusur ruang tamunya.
Nyonya Sophia benar soal waffles itu.
"Omong-omong, dimana Nyonya Sophia dan Tuan Addison?" tanyaku basa-basi, untuk kemudian duduk di sofa berwarna nude itu.
"Mereka sudah pergi sejak pagi." Ia tidak terdengar ramah, tapi lebih baik dari sebelumnya.
Mata kami kemudian bertemu saat ia ikut duduk di sebrangku. "Aku membawakan waffles untukmu." dan kuletakkan kantung berisi sekotak waffles itu di atas meja.
Matanya melirik sebentar ke arah waffles sebelum akhirnya kembali padaku. "Ada apa lagi kau ke sini? Bukankah sudah kukatakan, bahwa aku akan mencari adikku sendiri," ucapnya dingin.
"Bukankah dua akan lebih baik dari satu?"
Carl menghela napas pasrah dan mulai membuka kotak waffles tersebut. "Aku tidak tahu betul kronologinya seperti apa, karena aku sudah dua hari menginap di rumah teman." Ia memotong waffles itu dengan tangannya dan membelahnya jadi dua, sehingga madu di dalamnya dapat terlihat olehku. "Saat aku pulang, polisi sudah datang dan memenuhi rumahku."
Aku mulai mencatat semua pernyataan Carl di jurnal kecil pribadiku. "Kapan terakhir kali kau bertemu dengan korban?" tanyaku.
Carlpun menelan sisa waffles di mulutnya dan menatapku lurus. "Sebelum aku pergi untuk bekerja, artinya dua hari sebelum dia menghilang."
"Dimana kau bekerja?"
"Apa itu perlu?"
Aku mencebik gemas. "Jawab saja," kataku.
"Bengkel Paman Seth, ujung jalan Manhattan Avenue." Carl kembali membelah waffles dan memakannya. "Polisi yang datang ke rumahku, uhm... kurasa namanya Paul. Dia memberikanku sebuah surat yang berisi tulisan terakhir Ben."
"Ah, apa aku bisa melihatnya?"
Carl mengangguk dan beranjak dari sofa. Tentu setelah menghabiskan potongan terakhir waffles kesukaannya itu. Pria bertubuh tinggi dengan rambut kecokelatan itupun menggiringku menuju lantai atas. Dan begitu kami sampai, Carl juga tidak ragu membukakan pintu kamar Ben untukku.
"Ini kamar Ben?"
Carlpun mengangguk. "Aku melempar kertas itu entah kemana karena aku sangat marah," katanya dengan nada menyesal. "Mungkin kertas itu akan terselip di suatu tempat di ruangan ini karena Ayah dan Ibu tidak pernah menyentuh kamar ini lagi sejak Ben hilang."
Banyaknya debu yang menumpuk di meja belajar dan aroma apek yang menyesakkan dada sudah bisa menjawab pertanyaan apakah Carl jujur soal perkataannya barusan atau tidak.
Kakikupun melangkah mendekati meja belajar Ben. Tampaknya sesuatu terselip di kolongnya yang sempit. Aku merendahkan tubuhku dan mencoba menggapainya, tapi tanganku tidak cukup panjang untuk menarik kertas itu.
"Hey, kau sedang apa?!" seru Carl.
"Mengambil--euh, kenapa susah sekali, sih?!" Tanganku menggapai-gapai di antara celah yang sempit dan berakhir sia-sia.
Namun tiba-tiba, Carl ikut merendahkan tubuhnya dan memegangi lenganku. "Aku akan membantumu keluar," katanya dengan wajahnya yang begitu dekat dengan wajahku.
Dalam jarak yang hanya beberapa senti ini, aku dapat melihat beberapa bekas luka di pelipis dan ujung dagunya. Tapi secara keseluruhan, kuakui bahwa Carl memiliki wajah yang tampan.
Astaga. Aku bicara apa.
"Sudah," tukasnya memberi tahu. Ia kemudian kembali mencondongkan tubuhnya dan mengulurkan tangan untuk mengambil kertas yang terselip tersebut. "Kurasa aku mendapatkannya." Dan ia mengangkat kertas itu ke udara.
"Boleh kulihat?" tanyaku gugup.
Carl mengangguk dan menyodorkan kertas itu padaku. Kertas berisi surat terakhir yang ditulis oleh Ben, sebelum dia menghilang.
"Melihat dari tulisannya, Ben mencoba mengatakan sesuatu kepadamu," ungkapku seraya bangkit dari lantai dan Carl mengikuti.
"Apa maksudmu?"
"Dia mengganti beberapa huruf dengan angka yang jika kita kaitkan dengan susunan alphabet, kita akan menemukan huruf "D" dan "A" di sini." Aku menunjuk huruf yang diubah menjadi angka oleh Ben kepada Carl.
Dan pria berambut ikal itu langsung mengernyit tak mengerti. "Apa maksudnya dengan D, A? Aku tidak mengerti," katanya frustrasi.
Aku mencoba memahami situasi dan membaca kertas itu sekali lagi.
D dan A.
"Mungkin sebuah inisial nama," tebakku.
Dan Carl tiba-tiba menatapku serius. "Apa mungkin, Ben mencoba menulis nama Ayahku di sana?"
Dahiku mengerut cepat. "Apa?"
"D dan A, untuk Daniel Addison." []
T H E L O S T B R O T H E R
A novel by :
Nurohima
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Brother (TAMAT)
Gizem / GerilimCarl Addison kehilangan adik laki-lakinya, Ben Addison tepat dua hari setelah ia dipecat dari pekerjaannya. Pihak kepolisian hampir menutup kasus yang dianggap sebagai kenakalan remaja biasa itu kalau saja Carl, tidak bersikukuh menyanggahnya dan me...