Chapter - 31. Spending Time Together

1K 64 45
                                    

HAPPY READING 📖

---------------------------------------------

Di mobil bersama Neil, membuat Kana banyak bercerita dan meluapkan segala emosi yang tidak pernah ia luapkan sebelumnya. Tidak henti-henti mereka berbincang dan sesekali diiringi tawa hingga Kana melupakan pria yang tengah emosi di tengah-tengah kebisingan yang memekakkan telinga.

Air matanya tergenang karena banyak tertawa mendengar lelucon Neil yang tidak begitu lucu, sesekali tergelak memegang perutnya yang sudah terasa sakit. Humornya memang sedikit receh dan hal yang tidak lucu pun ia bisa tertawa. Neil pula terkikik geli mendengar tawa Kana yang begitu menggelegar di mobil. Ia menghentikan mobil di antrian mobil lainnya yang tengah mengisi bensin.

"Sudah, kau terlalu banyak tertawa. Sekarang bernapaslah," kata Neil sembari menolehkan kepala, menatap Kana yang mengatur rambutnya.

"Aduh, perutku sudah sakit karena kau!" ketus Kana dengan sisa-sisa tawa. Di saat bersamaan, tangan Neil terulur untuk merapikan rambut Kana.

"Rambutmu sangat halus, Kana. Aku menyukainya," gumamnya rendah. Jemarinya menyusuri setiap inci rambut yang selembut sutra, menggelitik kulitnya secara sengaja.

"Hahaha, terima kasih. Untung saja aku keramas hari ini. Jika tidak mungkin rambutku akan kasar, berminyak, dan lepek!" jujur Kana. "Kau ada ikat rambut?"

Neil mengangkat sebelah alis. "Untuk apa?"

"Mengikat rambutku."

"Tidak perlu diikat. Lebih bagus digerai."

"Tapi ini berantakan. Bahkan aku sudah terlihat seperti orang gila." Kana menggerutu, masih merapikan rambut karena kekasarannya saat tergelak dan beberapa kali diacak Neil.

"Biar aku rapikan." Neil dengan senang hati merapikan rambut Kana dan saat dilihat satu per satu mobil di depannya sudah pergi, ia menginjak pedal gas dengan pelan. Setelah itu, tangannya kembali berkutat dengan rambut Kana yang memang begitu lembut. Ia menyukainya. Haruskah ia berkata berkali-kali ia menyukai rambut Kana?

Wajah mereka berhadapan, memudahkan Neil melakukan aktivitasnya. Kini dapat ia lihat setiap inci wajah Kana yang putih, halus, dan dengan sedikit flek. Ia menyelipkan rambut ke belakang telinga Kana dan memajukan wajahnya, mengecup ringan rahang gadis itu.

Kana terkejut dan melebarkan mata. Neil melakukan sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang. Napas Neil amat terasa di ceruk lehernya, tanpa sadar ia meremas baju Neil saking gugup. Gugup sekali.

"Neil?" gumamnya berusaha menyadarkan Neil apa yang dilakukan pria itu. Benda lembut dan juga basah sangat terasa di kulit. Matanya memejam erat dan meremas baju Neil lebih kuat.

"Kau harum, Kana."

Degup jantungnya sudah tak bisa ditoleransi. Ia melihat ke arah mobil lain yang sudah pergi dan tibalah mereka yang mengisi bensin. Ia menepuk lengan Neil kuat. "Neil, giliran kita sekarang."

Terpaksa, Neil menjauh dari leher Kana yang mendadak menjadi candu. Ia menyukai semua yang melekat pada Kana. Ia kecanduan pada apa yang Kana miliki. Sepertinya ia satu-satunya pria yang mengantri untuk mendapat perhatian Kana, itupun jika ia bisa.

Kana memalingkan wajah ke samping kanan, menyembunyikan rona merah, mengabaikan Neil yang sibuk dengan pengisian bensin. Dalam hati ia berharap Neil tidak mendengar degup jantungnya yang semakin menggila. Ia takut degup jantungnya terdengar karena suasana di mobil ini begitu sunyi, bisa saja menimbulkan godaan-godaan yang semakin menambah kemerahan di pipi.

"Maaf." Neil memecah keheningan. Kana mengernyit bingung dan menoleh. "Maaf dengan tindakanku tadi. Aku benar-benar lepas kendali."

"Oh, hm, ya. Tidak apa-apa aku juga salah tadi." Kana memilin jemarinya di paha, apalagi ia tahu Neil kembali menatapnya. Entah mengapa kegugupan yang sedari tadi melanda tidak hilang-hilang.

Setelah petugas mengatakan pengisian sudah selesai, Neil menghidupkan mobil dan menginjak pedal gas dengan keheningan. Keduanya mendadak canggung. Tujuan mereka sekarang ada kembali ke rumah Kana karena langit juga sudah menunjukkan perubahan warna, mulai gelap.

Saat Kana melihat sebuah restoran dari kaca mobil, ia menyenggol lengan Neil. "Aku mau itu!" Tunjuknya ke restoran pizza yang hampir terlewat.

"Kau mau itu?" Neil mengerutkan dahi, ia memelankan laju mobil kemudian mencari parkiran seiring Kana menganggukkan kepala.

"Aku rindu pizza ...," gumam Kana dengan senyum sumringah. Tidak sabar begitu tampak di gerak-geriknya untuk segera keluar dari mobil menuju ke restoran yang begitu banyak penghuni.

"Kau ingin makan di mobil atau makan di sini?" tanya Neil saat mereka memasuki restoran.

"Aku makan di rumah saja. Sekalian membawakan Mike makanan. Dia pasti belum makan dan kelaparan. Soalnya aku tidak masak tadi," ucap Kana sembari menggaruk tengkuknya. Ia takut Neil akan marah jika ia berkata demikian.

"Kalau begitu kita beli untuk kau bawa pulang, dan juga untuk kita makan di mobil. Aku juga lapar dan tidak mungkin kau hanya melihatmu makan," kekeh Neil dan mencubit gemas pipi Kana. "Kau mau yang mana?"

Kana yang ditanya saat pria itu menunjukkan buku menu, mendadak kikuk. "Kau pesankan saja. Ehm, aku tidak tahu mana yang enak karena Mike selalu membelinya tanpa bertanya padaku."

"Kalau begitu aku pesan ini, ini, dan ini dengan porsi medium." Neil tersenyum kepada pelayan wanita yang semula memberikan buku menu pada mereka.

"Makan di sini atau—" Neil menggeleng cepat dan tentunya si pelayan mengerti. "Kalau begitu, saya undur diri dan tunggu pesanan Anda."

Neil mengangguk dan mengalihkan perhatian pada Kana yang sedari tadi melihat interaksi keduanya.

"Kau ingin pesan apalagi? Kalau kau ingin sesuatu, pesan saja." Neil menampilkan senyum menawan untuk meluluhkan hati Kana yang tak tersentuh. Meskipun gadis ini tak mengerti apa-apa, tapi ia tahu Kana sulit untuk jatuh cinta karena gadis itu sendiri tak paham. Kapan gadis ini bisa menyukai lawan jenisnya? Ia berharap Kana menyukainya dan melupakan Mike yang membawa pengaruh buruk.

"Ah, tidak ada. Pizza saja sudah cukup," Kana tersenyum canggung dan menyelipkan rambut yang menghalau sisi wajahnya ke telinga. "Aku tidak sabar menunggu pizza itu masuk ke mulutku,"

"Akan lebih baik kalau pizza itu masuk ke mulutmu menggunakan tanganku. Pasti rasanya akan berbeda karena aku menggunakan perasaan," goda Neil sembari menarik-turunkan alis. Kana tersipu malu dan menggembungkan pipi.

"Rasanya pasti sama saja! Bedanya hanya tanganku dan tanganmu!" Kana memutar kedua bola matanya, mengelak.

"Beda. Karena aku menyuapimu menggunakan cinta. Jadi nanti ada taburan manis berupa cinta sebagai topping-nya."

"Godaanmu sama sekali tidak masuk akal, Neil!"

"Mau dicoba?" tantang Neil sembari mengangkat sebelah alisnya, menungu reaksi menggemaskan Kana.

"Sejujurnya tidak. Tapi karena kau sudah membelikanku pizza, jadi aku terima tantanganmu. I dare you, Neil!" ucap Kana sembari menjentikkan jarinya.

Neil tertawa. "Aku tidak sabar melakukan tantangannya." Dilipat tangannya ke atas meja, ikut tersenyum lebar saat Kana tersenyum lebar sebagai respon.

.

.

.

TO BE CONTINUE

Light As A Feather ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang