Mencari Jejak yang Hilang

8 1 0
                                    

Happy Reading to All :*

Sebuah kedai coffee di sudut selalu banyak dimasuki orang. Hilir mudik saling bergantian mencicipi harumnya nuansa secangkir coffee. Bukan hanya di pagi hari, siang maupun malam hari selalu jadi tempat paling istimewa untuk sekedar menenangkan pikiran. Hanya dengan lewat di depannya saja pikiran sudah terasa rileks, sungguh aroma coffee memang seperti obat mujarab untuk penghilang stress.

Arsih terduduk pilu di sebuah kursi pojok ruangan, ia sangat terlihat pucat. Bibir yang dipoles merah muda pun tak bisa menutupi kondisinya. Teramat sangat berat dan semakin rumit saja semua ini, jika sebelumnya ia masih merasa tenang walau diusik, tapi yang satu ini adalah penyerangan fisik walau dirinya tak terluka. Setiap hari, akhir akhir ini, ia selalu merasa sedang dibuntuti. Entah hanya sekedar sugestinya nya saja karena terbawa suasana hatinya yang ketakutan.

Secangkir kopi hanya dihirup, dipandangi, setelah itu dibiarkan saja hingga dingin. Hingga tak lama terdengar suara lonceng kecil yang tertempel di atas pintu yang terbuka. Derap langkah yang sudah tak asing, mendekat menghampiri nya. Ia sama sekali tak menoleh, hanya tetap menunduk terpaku dengan tatapan kosongnya. Seorang Pria menyapanya dengan penuh tatapan paham dan sangat berhati hati.

"Kamu... Baik baik saja?" itu adalah kalimat pertama yang ditanyakannya. Dia tahu Arsih sedang tak baik. Tak terlihat senyumnya sama sekali walau sedari tadi dia mengawasinya saat memasuki bar.

"Ahh... Kamu sudah datang? Sejak kapan? " Ia terbangun dari lamunannya. Ternyata ia sama sekali tak menyadari keberadaan Han saat itu. Inderanya masih terjaga, namun tak peka, ia hanya tersenyum.

" Baru saja aku sampai.... Ada apa? Kamu terlihat berbeda hari ini?" Tanya nya dengan sangat hati hati. Ia tak bodoh dengan tak bisa melihat situasi, walau saat ini senyum Arsih telah nampak. Ia tak mau langsung to the point dengan menanyakan hal hal yang bisa saja sensitif bagi Arsih.

"Ingin expresso kali ini? " ucap Arsih membalas pertanyaan dengan pertanyaan.

"Yah... Apapun itu..." tiba tiba ia langsung menatap tajam Arsih dengan tatapan hangat, dan berkata "Katakan saja jika sudah siap cerita. Rilex, aku siap menunggu..."

Arsih menarik nafas dalam dalam...
" Mereka kembali meneror kami. Dan kejadian itu pagi tadi. Kali ini aku benar benar ketakutan, Han. Mereka telah berani bertindak lebih jauh, aku harus bagaimana?"ia bercerita tentang semua kegundahannya hari uni. Perlahan matanya menjadi sendu dan basah tatkala ia tak bisa menahan air matanya jatuh.

Dengan refleks Han tak sengaja memegang tangan Arsih untuk menenangkannya. Ia terbawa suasana, beruntung malam ini tak terlalu banyak orang yang datang, hanya tersisa beberapa saja yang masih terduduk santai dengan laptop, gedget, maupun pasangannya tanpa peduli sekitar.

"Heyy. Tenang, kamu akan baik baik saja. Jika kamu takut, lalu bagaimana kamu akan menghadapinya? Membiarkan saja di bertindak sesuka hatinya? Walau aku belum jauh mengenalmu Arsih, mataku berkata kau adalah orang yang kuat. Jangan mudah tergoyahkan dengan hal seperti ini, oke... Kau akan baik baik saja... " perkataan demi perkataan ia lantunkan dengan sangat hati hati. Tak ingin salah berbicara sampai sampai menambah kesedihan Arsih, ia baru tersadar jika sedari tadi tangannya memegang tangan Arsih. Ia merasa panik dan tentu saja tak enak hati.
" Oh maaf, bukan bermaksud seperti itu.. " dengan cepat ia menarik tangannya dari sana.

"Bagaimana aku bisa tenang? Aku tak memiliki pegangan yang kokoh... Hanya ada aku dan kakakku disana. Aku...."

Han dengan refleks memotong ucapan Arsih...
"Aku akan berada disana jika kamu mengizinkan..."

Seketika Arsih tersentak, tangisan nya terhenti, tatapannya mengarah kedepan berpapasan dengan Han.
"Aku akan berada dirumah mu 24 jam setiap hari. Ahh tidak, mungkin tidak full, hanya saja sampai waktu yang benar benar aman. Tentu saja jika kamu mengizinkan. Aaa maaf jika terlalu spontan seperti ini. Tapi benar sungguh, aku tak bermaksud apa apa." ia hanya tertawa kecil malu mendengar perkataannya sendiri.

Risalah TioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang