🍀 45°

140 8 0
                                    

Seminggu sudah kondisi Nasha belum ada perkembangan. Tubuh lemahnya masih setia berada di ranjang putih itu. Dengan selang oksigen melekat pada hidungnya. Wajahnya terlihat pucat, namun masih cantik. Setiap hari, ayah dan ibunya bolak-balik untuk mengunjungi putrinya. Begitu pun adiknya yang datang bersama Tiara.

Kalau Daniel, pria itu sesekali berkunjung. Karena jadwal kerjanya cukup padat akhir-akhir ini. Lain halnya Ditya, pria itu setiap malam menginap di rumah sakit. Sebelum berangkat ke kantor, pria itu menemani Nasha sambil bercerita panjang lebar di pagi hari. Dari penampilan pria itu, seperti tidak terurus. Matanya sayu, terlihat juga tumbuh rambut halus di sekitar rahangnya. Ia juga terlihat kurus, karena makan tidak teratur. Sampai-sampai Amy sang bunda mengomel padanya.

Saat ini Ditya sedang di kantor. Sekitar lima hari, ia tidak hadir saat rapat. Untung saja ada yang bisa diandalkan olehnya. Sejujurnya, ia tidak ingin meninggalkan Nasha sendiri. Tapi, ia juga tidak bisa mengabaikan perusahaannya terlalu lama. Setidaknya Ditya bertanggung jawab, dan bisa mengatur waktu disela kesibukannya.

Acara pernikahan yang seharusnya sudah berlangsung hari ini, harus ditunda. Semua persiapan jauh-jauh hari, terpaksa dihentikan, mengingat kondisi calon mempelai wanitanya belum sadar dari tidurnya. Saat menghadiri rapat, Ditya tidak fokus. Perasaannya merasa tidak enak. Berkali-kali sekretarisnya menegur dirinya agar kembali fokus.

Hari ini begitu lama. Ia sudah merasa bosan duduk hampir dua jam lamanya. Berkutat dengan dokumen dan rapat yang panjang. Pria itu memijat pangkal hidungnya. Menghembuskan nafas lelahnya.

Di tempat lain, Andra berencana menyelinap ke ruangan Nasha. Sejak tadi ia sudah memantau kondisi ruangan itu. Melihat tidak ada orang yang menunggu, pria dengan hoodie hitamnya langsung menuju ruang rawat Nasha. Dibukanya pintu itu lalu segera masuk. Senyumnya mengembang saat bisa melihat Nasha lagi. Pria itu mendekati ranjang Nasha, sembari duduk di kursi. Ia menggenggam tangan Nasha yang terasa dingin.

"Apa kabar? Maafkan aku," bisik Andra. Matanya meneliti wajah Nasha yang pucat. Perlahan tangan kirinya mengelus kepala wanita itu dengan lembut.

"Aku nyakiti kamu ya? Apa masih sakit? Kenapa kamu harus korbankan nyawa kamu untuk dia? Seharusnya dia yang berada di posisi kamu saat ini. Kamu tau? Perasaan aku kacau saat aku sadar kamu yang tertabrak. Aku marah sama diri aku sendiri. Aku nggak niat nyakiti kamu. Dan malam itu, aku terlalu bodoh. Nggak seharusnya aku nyentuh kamu."

Andra menarik nafas. "Aku udah buat kamu ketakutan dan pasti kamu benci sama aku. Sha, maafin aku. Aku pria brengsek, yang nyatain cinta dengan cara kotor. Aku sayang sama kamu. Maaf.

"Aku ... Sha, aku nyesel. Maafin aku. Tolong kembali, aku janji nggak bakal muncul lagi di hadapan kamu. Aku akan melepas kamu untuk dia. Aku sadar, aku nggak pantas buat kamu. Tapi aku mohon, buka mata kamu. Setelah itu aku akan pergi, mengejar karir aku. Aku melepas kamu sepenuhnya. Tolong, maafin aku." Andra menitikkan air matanya. Rasa sesal itu selalu menghantui dirinya.

Ceklek.

Pintu ruangan itu terbuka. Andra menoleh ke arah suara dan mendapati Ditya berdiri di sana dengan tatapan marah. Ditya merasa sesuatu terjadi, makanya pria itu buru-buru menuju rumah sakit, setelah rapatnya selesai. Dan benar dugaannya, Andra berada di sana sedang menggenggam tangan wanitanya. Pria itu mengetatkan rahangnya, dengan langkah cepat ia menarik kasar tubuh Andra dan tinjuan mentah darinya.

Bugh!

Andra tersungkur karena serangan tiba-tiba Ditya.

"Brengsek! Ngapain lo ke sini?!" tanya Ditya dengan nada menahan amarah.

"Gue mau ketemu Nasha," jawab Andra sambil berdiri. Dengan cepat, Ditya mencengkram kerah baju Andra.

"Masih punya nyali untuk datang, ha?! Setelah apa yang lo lakuin sama dia?!"

"Gue-"

Bugh!

Tinjuan yang kedua.

Bugh! Bugh!

Tidak, tidak! Tinjuan berikutnya ia layangkan pada Andra yang sudah berada di bawahnya. Andra tak berusaha melawan, ia pasrah jika dirinya harus mati sekalipun.

"Bajingan! Gue belum puas malam itu, lo harus bayar setiap inci sentuhan lo di tubuh dia!"

"Maafin gue."

"Maaf lo bilang?! Argh!"

Saat ingin melayangkan pukulannya lagi, beberapa orang datang melerai. Terlihat dokter dan suster ikut berdatangan. Dua orang security menahan Ditya agar berhenti.

"Pak, tolong berhenti. Jangan membuat keributan di sini," cegah salah seorang security itu.

"Lepaskan saya! Dia harus mati!" bentak Ditya.

"Sebaiknya bawa dia keluar," suruh dokter itu pada salah seorang yang membantu Andra berdiri. Ditya menatap Andra tajam dengan tangan mengepal.

"Gue pergi. Maaf," ucap Andra. Dua security itu membawa Andra menjauh dari ruangan.

"Pak, kontrol emosi Anda." Dokter itu menenangkan Ditya yang emosi.
"Suster tolong periksa pasien," perintah dokter itu. Ditya mengusap kasar wajahnya. Menormalkan kembali nafasnya yang penuh emosi. Pikirannya berkecamuk.

"Gimana kondisinya?" tanya Ditya.

"Pasien tidak apa-apa. Tapi tolong jangan membuat keributan seperti tadi."

"Baik, Dok. Maaf."

Dokter itu tersenyum sambil menepuk bahu Ditya. "Saya permisi dulu."

Ditya membiarkan mereka pergi. Ia mencium kening Nasha.

"Maafin aku, Sayang. Aku lama ninggalin kamu, ya? Maaf tadi ada keributan, buat kamu terganggu."

Ditya menghela nafas.

"Masih betah tidur, hm? Aku kangen sama omelan kamu. Kangen manjanya kamu. Cepet bangun Sayang. Bantu aku untuk kontrol emosi aku.

"I miss you. Aku berantakan banget sekarang. Liat deh, dua sapi itu liatin aku mulu. Mereka kayaknya juga sedih. Yah, nggak jadi 'lucu' lagi dong? Bangun ya? Aku selalu di sini sama kamu."

❇❇❇❇

😔 😔

Calon Pendamping Masa Depan (Complete) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang