Falling; 21

2.7K 293 12
                                    

Jihyun POV

Lima menit sudah terlewatkan, masih belum ada tanda-tanda ada seseorang yang akan menyelamatkan gue dan Lay di dalam lift ini.

Gue meremas ujung kaos gue erat-erat karena kepala gue mulai terasa pusing. Mungkin karena efek kena hujan tadi.

"Gue udah telepon Pak Wang, sebentar lagi dia bakal balik ke sini." ucap Lay yang gue anggukin.

Lay memegang bahu gue dan sedikit menurunkan wajah nya untuk melihat kondisi wajah gue.

"Lo sakit, lo pucet!" pekik nya yang membuat gue makin menunduk.

"Ga apa, minum obat nanti juga udah sembuh." jawab gue dengan suara parau. Kepala gue terasa makin pusing.

"Gara-gara hujan tadi, kan? Maka nya lo ngeyel sih di bilangin, sekarang sakit kan!"

Gue mencoba tidak mendengarkan omelan Lay, tapi badan gue yang sedari tadi berdiri tiba-tiba merosot ke bawah, membuat Lay memekik terkejut.

"Cerewet lo, diem napa."

Lay berdecak kemudian duduk di samping gue dan menaruh kepala gue di atas bahu nya. Gue ga menolak karena memang kepala gue butuh tempat untuk bersandar.

"Maka nya kalau ga mau gue cerewet tuh nurut, jangan ngeyel mulu. Kan sekarang lo sendiri yang sakit, jadi nya nyusahin gue."

Ucapan Lay tadi langsung membuat gue menjauhkan kepala gue dari bahu nya.

"Gue ga minta lo urus gue, kok!" bentak gue. Tetapi gue terdiam lagi saat Lay tiba-tiba menarik kepala gue untuk bersandar lagi di bahu nya.

"Diem!" perintah nya. Gue mendengus dan memilih untuk menutup rapat mulut gue.

Setelah itu hening, di dalam lift cuma ada suara deruan nafas kita masing-masing.

"Pusing banget, ya?" tanya dia yang gue jawab dengan deheman.

Beberapa detik kemudian gue bisa merasakan usapan lembut di kepala gue.

Astaga, kenapa jantung gue rasa nya berdetak kencang banget!

"N-ngapain tangan lo?" tanya gue dan berusaha menjauhkan tangan Lay dari kepala gue. Tetapi Lay malah menepis tangan gue dan melanjutkan usapan nya.

"Diem aja bisa ga? Kalau lo banyak gerak, kepala lo makin pusing!" omel Lay.

Gue akhirnya memilih untuk diam dan menikmati setiap usapan yang Lay berikan ke kepala gue.

Nyaman, persis seperti usapan yang bokap gue beri dulu sebelum gue tidur.

"Kalau ngantuk tidur aja, nanti gue bangunin."

Gue menggeleng. Enggak, gue ga boleh sampe ketiduran.

Lay itu artis yang berpengaruh banget di sini. Gue gamau kalau besok nama gue muncul di berita dengan judul

'Lay dan seorang wanita di temukan tertidur berdua di dalam lift.'

Heol, bisa di serang abis-abisan gue sama fans nya!

"Ga deh, gue nanti tidur di kamar aja, lebih enak."

Lay terkekeh, "Bukan nya lebih enak di bahu gue, ya?"

Blush..

Sial sial sial sial.

"Apa sih!" gue mencubit lengan Lay yang membuat dia merintih. Sedetik kemudian dia kembali terkikik.

"Yaudah yaudah, kita ngobrol-ngobrol aja supaya lo ga ketiduran." Lay memberi saran.

"Mau ngomong apa?"

"I don't know, maybe tentang lo atau gue? Kita kan bakal bareng sampe sebulan kedepan, setidak nya kita harus tau satu sama lain." kata Lay yang membuat gue berdecak.

"Ga ada yang bisa gue ceritain tentang kehidupan gue, juga gue gamau tau apa-apa tentang lo. Cukup tau kalau lo sekarang adalah publik figure yang wajah nya terpampang di berbagai media."

Lay kembali terkekeh, "Gue memang sekarang sudah ada di puncak popularitas, tapi apa menurut lo gue bahagia?"

"Kalau gue jadi lo sih ya seneng-seneng aja, kan uang nya banyak!" ucap gue tanpa ragu.

"Dasar mata duitan!" cibir Lay yang membuat gue menatap nya sebal. Untung gue lagi ga enak badan, kalau ga udah gue jitakin lagi kepala nya.

"Sebenar nya gue udah cape akan semua ini, tetapi gue selalu berusaha melupakan rasa lelah ini dengan bekerja keras dan lebih keras lagi agar para penggemar gue tetap bertahan. Karena mereka lah alasan gue kenapa gue bisa bahagia dan sampe di titik ini sekarang."

"Penggemar gue yang membuat rasa gue lelah hilang, penggemar gue yang selalu membuat gue ingin bekerja lebih dan lebih keras."

"Gue ga perlu dunia tau akan siapa gue, gue cuma perlu penggemar gue bisa bahagia dan puas dengan karya gue. Oleh karena itu gue selalu memikirkan mereka di setiap lagu yang gue buat. Mereka segala nya buat gue, mereka kekuatan dan kebahagiaan tersendiri buat gue."

Lay sempat memberhentikan usapan nya, tapi kemudian ia melanjutkan usapan tangan nya di kepala gue sambil bertanya, "Kalau lo, siapa yang bikin lo bahagia?"

Gue terdiam beberapa detik, bingung untuk memikirkan apa dan siapa yang bisa membuat gue bahagia.

"Dulu, gue bahagia bersama keluarga gue. Gue rasa keluarga gue akan selama nya bersama dan bisa berbagi kebahagiaan bersama. Tetapi ternyata gue salah."

Gue terkekeh, "Keluarga gue hancur. Dan sejak itu gue ga bisa merasakan kebahagiaan seutuh nya lagi. Tapi, setahun kemudian gue bersyukur kepada Tuhan karena dia mengirim seseorang yang membuat gue kembali merasakan sedikit kebahagiaan."

"Siapa?" tanya Lay yang membuat gue tersenyum kecut.

"Dia Jackson. Kami memulai hubungan sejak duduk di bangku SMA. Awal nya gue pikir gue bisa memulai hidup yang baru dan lebih berwarna bersama dia, tapi ternyata lagi-lagi gue salah."

"Dia.. pergi. Dia ninggalin gue. Bukan, dia bukan selingkuh. Dia bener-bener ninggalin gue, selama nya."

Air mata gue rasanya sudah menumpuk di pelupuk mata akibat mengingat lagi dua orang yang gue sayangi memilih untuk pergi.

"Dia meninggal akibat tragedi kecelakaan, lebih tepat nya kecelakaan pesawat. Andai saja dia ga ambil beasiswa ke London waktu itu, dia ga mungkin masuk ke list orang yang meninggal di kecelakaan pesawat yang tragis itu."

Setetes air mata gue akhirnya terjatuh, cepat-cepat gue mengusap nya dan kembali menahan tangis.

Ga, gue ga boleh nangis di depan Lay lagi!

"Jihyun." panggil Lay sambil mengangkat dagu gue.

Dia menjauh dan menangkup kedua pipi gue, menghapus air mata yang berada di pipi dan pelupuk mata gue dengan ibu jari nya.

"Bukan berarti karena bokap dan pacar lo pergi, maka kebahagiaan lo berakhir saat itu juga. Enggak, masih ada sumber kebahagiaan lain yang bakal lo temuin."

"Dimana? Keluarga gue udah hancur, Lay. Gue benci nyokap gue karena dia yang ngebunuh bokap gue, sementara Kak Chanyeol sibuk dengan karir nya. Siapa lagi yang bisa bikin gue bahagia?" kata gue di akhiri kekehan.

Rahang Lay sempat mengeras, dia masih menangkup kedua pipi gue dan sekarang malah menatap ke dalam kedua bola mata gue.

"Gue."

Gue mengkerutkan dahi, bingung akan apa yang Lay katakan barusan.

"Apa?"

"Biarin gue jadi orang selanjutnya yang bisa buat lo bahagia."

Falling; Lay Zhang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang