Karin melewati para anggota sanggar seni dengan sesekali melempar senyuman manisnya. Sifatnya yang ramah membuat dia disegani disini, banyak juga yang menyukai baik laki-laki maupun perempuan.
Gadis berlesung pipi itu duduk di kursi khusus yang sudah disediakan untuk ketua umum. Sebelum memulai pertemuan, Karin mengecek dulu beberapa anggota yang hadir dengan meminta laporan kepada sang sekertaris.
"Hadir semua, dan ada beberapa orang yang baru masuk ke ekskul ini." Ucap Karin melihat data pada kertas tersebut.
Sebenarnya tidak hadir semua, sanggar seni cabang band memang tidak pernah hadir dalam pertemuan ini. Karena kebanyakan siswa laki-laki yang susah diatur, sehingga Karin tak mau ambil pusing, mereka bersedia ikut dalam perlombaan saja sudah untung.
"Rin, tadi pagi si Lizzy labrak siswa kelas 10 di lapangan." Bisik teman seangkatan Karin.
Karin tersenyum tenang, memang selalu seperti itu. Dia hanya mengangguk lalu menghembuskan napasnya kasar.
"Kita bicarain nanti."
"Oke, pada pertemuan kali ini kita akan membicarakan soal lomba teater sekota yang akan diadakan bulan depan. Dan untuk cabang seni lainnya belum ada konfirmasi mengenai lomba. Untuk itu, cabang seni selain teater tetap melanjutkan latihan seperti biasa."
***
Tasya menghela napasnya lega, Rayan sudah pulang dari tadi sehingga ia tak perlu mengawasinya lagi. Pertemuan ekskul juga sudah berakhir. Rasanya hari ini benar-benar melelahkan, ingin sekali Tasya membersihkan badannya kemudian segera berbaring di kasur kesayangannya.
Namun rasanya ada yang kurang, hari ini ia sama sekali tak bertemu dengan Rangga. Sesibuk apakah cowok itu sampai tak menemui Tasya bahkan untuk sebentar saja? Diam-diam Tasya merasa kesal.
Jam menunjukkan pukul 05.25, ini sudah terlalu sore, jika Tasya tak segera pulang ke rumah, ia akan kemalaman di jalan. Ia pun bergegas ke halte, berharap masih ada bus di jam segini.
Tin tin..
Suara klakson mobil menginterupsi Tasya untuk menoleh, ia menemukan seseorang di dalam mobil yang sudah tak asing lagi baginya.
"Sendirian?"
Tasya mengangguk.
"Sama gue aja yuk, kebetulan rumah kita searah." Ajak Karin kemudian, Tasya sempat berpikir, namun setelah itu mengiyakan. Selain menghemat ongkos, ia juga bisa sedikit dekat dengan ketua umum sanggar seni ini.
"Nama lo Tasya kan?" Tanya Karin memulai obrolan setelah menjalankan mobilnya. Tasya sedikit terkejut, ia tak menyangka Karin bisa tahu namanya.
"Kok lo tau?"
Karin terkekeh, "emm... " Setelah itu hanya bergumam yang membuat Tasya mengerutkan dahinya.
Eh, tunggu dulu. Apa tadi Karin bilang rumah mereka searah? Darimana Karin tahu? Bukankah mereka baru berjumpa sekarang?
"Tunggu dulu, darimana lo tau kalo rumah kita searah?" Tasya tak ingin menduga-duga, ia langsung saja melontarkan pertanyaan karena rasa penasarannya.
"Gue... Penguntit." Bisik Karin hampir tak terdengar. Tasya tercekat, rasanya kemampuan otaknya dalam bekerja tiba-tiba melamban.
"Hahahaha..." Karin tergelak, sontak saja Tasya sadar, ia semakin mengernyit heran dengan kelakuan gadis di sampingnya ini.
"Ya ampun, Sya. Muka lo itu lucu kalo lagi panik gitu." Ucap Karin disela-sela gelakan tawanya. Ia berbicara santai, seakan mereka sudah lama berteman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Possessive and Overprotective Boy [END]
Teen Fiction"Ngefans kok sama plastik." "Apa lo bilang?! Dasar wibu psikopat! suka kok sama cewek 2D!!!" "Siapa bilang gue suka sama cewek 2D? gue sukanya sama lo." Bagaimana rasanya ketika kamu diculik seorang cowok ganteng tak dikenal kemudian dikekang dan di...