She

4.7K 469 5
                                    

Kita pasti sering mendengar, jika manusia tidak bisa memilih terlahir dari keluarga yang seperti apa. Semuanya sudah diatur dalam catatan Tuhan yang mutlak berlaku bagi seluruh ciptaan nya. Pun aku salah satu yang tak pernah merasa keberatan hidup ditengah keluarga Kim. Keluarga terpandang yang kerap kali disebut sebagai keluarga kolongmerat. Keluarga yang dianggap tak akan pernah kekurangan sesuatu yang disebut materi. Ya, aku mungkin akan mengakui kebenaran itu. Aku dan kakak ku berada dalam kehidupan yang berlebih. Tak pernah mengerti apa itu yang dimaksud dengan istilah kekurangan sebuah materi, kami jelas tak pernah tahu bagaiman rasanya. Sejak kecil, semua yang kami inginkan jelas akan dengan mudah terwujud hanya dalam satu kali ucap. Pun memang ayah dan ibu selalu menjadikan apa yang disebut oleh putra putrinya sebagai sebuah kebutuhan, bukan lagi sebuah keinginan.

Namun, belakangan aku mulai berpikir tentang berbagai kemungkinan. Mulai berandai-andai jika aku tidak menjadi bagian dari keluargaku saat ini. jika aku hanya seorang anak gadis dari keluarga sederhana. Apa mungkin hidupku akan lebih baik dari apa yang aku jalani saat ini. jika memang tak lebih baik dari kehidupanku yang sesungguhnya, setidaknya aku mungkin tak akan perlu terjebak dalam suatu ikatan bisnis keluarga yang pada akhirnya membawaku pada sebuah ikatan pernikahan yang tidak pernah kuharapkan.

Menikah dengan seorang pria yang baru dua kali kutemui. Mengenalnya hanya dari cerita ayah dan ibu yang terdengar lebih bersemangat tentang pernikahanku. Membayangkan, apakah aku bisa menjadi seorang istri dalam keadaan pernikahan yang serba penuh keterpaksaan. Semua ini jelas diluar rencana hidupku. Keinginan untuk menjadi seorang wanita normal dengan pendamping hidup yang ku kehendaki, nyatanya hal itu memang hanya sebuah rencana tanpa mungkin bisa kurealisasikan.

"Hey, menunggu lama? Sorry." Aku mengangkat wajahku, kemudian mendapati kehadiran sosok seorang pria yang tengah menatapku dari dalam mobilnya. Ekspresi datar nya yang nyaris serupa denga triplek itu membuatku menatapnya dengan tatapan kesal. Pria sialan itu membuatku menunggu di halte bus selama dua puluh menit, dan datang tanpa rasa bersalah.

Pun aku tak berniat menjawab ucapan basa-basinya, atau sekedar menyapa atau berucap oh, tidak apa kok. Aku belum menunggu lama. Melainkan lebih memilih cepat menghampiri mobil pria itu. Membuka pintu mewahnya untuk kemudian memberi sedikit debuman keras saat kembali menutup pintu mobilnya, "bisakah kau sedikit lembut, nona? Aku tidak membeli mobil ini dengan kredit bulanan." Katanya sambil kembali menyalakan mesin mobil.

Aku mendesah tanpa rasa perduli sedikitpun. Kalau dia pikir aku akan bertepuk tangan hanya karena kesombongan nya, tentu saja tidak. Karena bagiku itu bukan sesuatu yang wah. Dia pikir hanya dia yang bisa membeli mobil mewah tanpa kredit. Ayahku juga punya tiga mobil mewah yang dibeli tunai, tanpa kredit, "hm, sorry." Kataku. Melirik pemuda itu sekilas, kemudian beralih menatap keluar jendela. Mengamati beberapa pohon sakura yang perlahan bunganya mulai berguguran, hingga kemudian kurasakan mobil mewah ini mulai melaju membelah jalanan.

"Kau mau makan dulu?" tanya pria itu. Aku mengalihkan mataku untuk sejenak menatapnya yang tengah fokus pada kemudi.

"Kau bilang akan makan malam bersama nenekmu, lalu untuk apa kita makan dulu." Ucapku ketus. Lalu kembali kubuang pandanganku keluar jendela, hingga tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas begitu saja dikepalaku. Pun aku melakukan sedikit pergerakan yang mengundang atensi Yoongi, "Min Yoongi, boleh aku bertanya sesuatu?"

"Hm, tanyakan! Asal jangan pertanyaan fisika atau matematika." Katanya tanpa melihatku.

"Bukan, untuk apa juga aku bertanya tentang hal itu."

"Lalu?"

"Soal pernikahan kita. Aku merasa heran tentang sesuatu."

"Tentang apa?"

The Way to in Love ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang