Waktuku mengenalnya terlampau singkat. Banyak hal yang belum kupelajari tentangnya. Banyak waktu yang belum kuhabiskan dengan nya untuk membangun banyak kenangan. Serta banyak ucap juga perangaiku yang mungkin membuatnya merasa tersakiti.
Aku begitu kurang dalam banyak hal. Aku yang belum cukup memberinya kebahagian. Serta ia yang pada akhirnya belum dapat mendengar pengakuan tulusku perihal mencintainya—padahal ia sendiri telah menghujaniku dengan berbagai kalimat cinta.
Pertemuan kami terlalu singkat untuk lekas berakhir. Terlebih saat semuanya dimulai dengan sebuah keterpaksaan. Sebagian dari pertemuan itu kuhabiskan dengan membenci dirinya juga keadaan. Meski pada akhirnya kuputuskan belajar terbiasa untuk bisa menerima. Pun pada akhirnya aku menjadi wanita pecandu kehadiran nya. Dan kini, tentangnya bukan lagi perihal membiasakan diri. Kehadiran nya telah jadi sesuatu yang mutlak untuk diriku.
Pada akhirnya, ini semua perihal mengikhlaskan. Ikhlas jika segala hal yang terjadi padaku merupakan bagian kehidupan yang harus singgah dan kulewati. Pun pada akhirnya segala macam pembuktian yang mati-matian kucari dan kutemukan berakhir pada sebuah penyelesaian yang tak sedikitpun menghadirkan kelegaan atau sedikit kepuasan kecil untuk ku. Beban yang semula begitu terasa berat, hingga kini masih terasa berat. Bahkan mungkin menjadi semakin berlipat. Yang ada justru jutaan penyesalan yang kini menggerogotiku setiap kali mata ini bertemu dengan wajah lemah yang terus saja terpejam, meski seingatku ini sudah pekan kedua sejak aku kembali bertemu dengan nya dalam kondisi kritis.
Min Yoongi ku mungkin sedang merajuk. Ia mungkin terlalu benci untuk terbangun dan menatapku. Padahal sudah ribuan maaf kuhaturkan padanya, entah itu dalam ucap maupun dalam setiap doa yang kerap kali kupanjatkan. Mungkin Min Yoongi ku tengah memberiku sedikit hukuman untuk membalaskan segala rasa sakit yang kutorehkan padanya. Tidak apa, Yoon. Selama apapun kau ingin menghukumku, itu tidak apa. Yang terpenting, selama apapun itu kau harus berjanji padaku untuk bangun dan menatapku suatu hari nanti. Meski sejujurnya aku begitu rindu menatap mata berbinar yang kerap kali memandangku dengan beribu ketulusan. Aku juga rindu dengan bagaimana mulut itu kerap memberi ucapan manis yang selalu membuatku tersenyum. Aku rindu segala tentangmu, Yoon. Rinduku begitu besar sekalipun kau tengah terlelap dihadapanku.
“Dan?”
Aku merotasai wajah saat suara berat itu menjamah pendengaranku—mendapati sosok kak Namjoon yang tengah berdiri didepan pintu sambil mengulas senyum padaku, “kak, kenapa datang kemari? Bukankah seharusnya siang ini kau berangkat ke Hongkong?”
Kak Namjoon mengangguk. Tungkainya bergerak menuju ke arahku. Terlebih dahulu meletakan bunga mawar yang dibawanya kedalam vas bunga yang beberapa hari ini telah kosong, untuk kemudian berjalan dan duduk disisi ranjang Yoongi sambil menatapku, “aku akan pergi nanti. Aku kemari mengantarkan seseorang yang ingin bertemu denganmu.” Ucapnya sambil mengusap lembut suraiku.
“Seseorang? Siapa, kak?” tanyaku dengan sedikit rasa penasaran.
Kak Namjoon tersenyum simpul. Ia lantas kembali bangkit, “tunggu sebentar, ya. Kuajak dia kemari.” Aku hanya mengangguk menanggapi. Lalu kak Namjoon berlalu dari hadapanku untuk kembali keluar dari ruang rawat, membuatku kembali memusatkan atensiku pada Yoongi yang tengah berbaring. Sampai saat suara kak Namjoon kembali terdengar, “Dan?” lantas membuatku menoleh dan mendapati sosok kak Namjoon yang tak kembali seorang diri—melainkan membawa dua sosok yang membuat jantungku berdegup cepat tak kala mendapati kehadiran sosok keduanya.
Seseorang dengan seikat bunga ditangan nya tersenyum padaku. Memberi satu lamabaian canggung saat menyapaku dengan ragu, “hai, noona.”
Sedangkan si pria lainya tersenyum manis diatas kursi rodanya. Kudapati sekeranjang buah-buahan berada dipangkuan nya. Pria yang kerap kali kujumpai dengan sepasang pakaian pasien itu, kini terlihat lebih cerah saat ia menggantinya dengan sebuah kemeja baby blue dan jelana jeans hitam yang begitu terlihat pas pada kaki jenjangnya yang tertekuk—persisi sekali dengan gayanya yang kukenal, “hai, Dan. Apa kami mengganggu?” tanya si pria yang akhirnya membuyarkan keterkejutanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way to in Love ✔
Romance🔞🔞🔞 Kim Dana jelas punya mimpi akan kehidupan pernikahan idelanya. menghabiskan sisa hidup dengan pria yang dicintai adalah sesuatu yang ia inginkan. Namun, gadis itu punya takdir sial yang mengharuskan nya menikah dan menghabiskan waktu hidupnya...