PROLOG

5.8K 212 20
                                    

"Ada apa, kusut banget?" Tanya Atien sesaat setelah aku duduk didepannya.
"Aku capek Tien, semua usahaku gagal dan salah," jawabku lesu. Atien menatapku dengan dahi berkerut.
"Apanya yang gagal?" Tanyanya tak mengerti.
"Rasanya pingin nyerah aja," sahutku pasrah mengabaikan pertanyaannya. Atien menghela napas panjang sebelum kembali bicara.
"Lu mau menyerah setelah semua yang sudah Lu lewati? Setelah semua perjuangan Lu untuk bisa bertahan selama ini?" Aku terdiam. Pertanyaan itu menamparku. Tapi aku bergeming. Atien tersenyum miring.
"Lupa siapa Lu? Lupa tujuan lu datang ke Jakarta? Sepertinya gua yang harus ingetin lu. Ingat, lu adalah Arcane!" katanya terdengar sedikit sewot. Aku tersentak mendengar suara Atien yang menggebu.
Oh my God ada apa denganku? Atien benar sepertinya aku lupa siapa diriku. Aku Arcana Dama Nandita dan panggil aku Arcane, bukan Arca atau Cane. Karena namaku punya arti penting, jadi jangan asal potong nama. Kata bapak namaku berarti anak perempuan dengan hati (batin) yang baik dan kuat. Nama itu mengikatku untuk terus menjadi seperti yang bapakku inginkan.
"Sejak kapan Arcane jadi cemen gini?" tanya Atien sinis. Kubalas kesinisannya dengan tersenyum kecut. Kucecap perlahan lemon green tea yang disodorkan Atien, rasa segar mengalir dalam kerongkonganku.
"Nih rujak, siapa tahu makan yang pedes-pedes bisa membuat otak lo jadi lebih encer," ejeknya tertawa. Psikolog gila, seenaknya aja bicara. Jelek-jelek gini aku guru lho... Guru kan otaknya harus encer biar bisa bohongin anak orang, eh salah maksud aku biar bisa ngajari anak orang. Bisa disentil yang punya kuasa kalau aku bohongi anak orang.
Hari ini aku memaksa Atien sahabatku yang kebetulan seorang psikolog untuk bertemu. Mungkin karena suaraku ditelpon terdengar putus asa, Atien rela membatalkan janjinya dengan seorang klien. Takut kali aku bunuh diri hahaha... Aku perlu konsultasi gratis dengan psikolog "agak-agak" ini. Kenapa aku bilang "agak-agak", kadang ngobrol dengan dia masalah gak menjadi mudah malah bikin tambah sakit hati. Omongan ceplas ceplosnya itu lho yang gak enak di dengar telinga orang normal! Untungnya aku agak gak normal jadi gak baper. Namanya juga gratisan aku harus terima aja nasehat sang bu psikolog. Dan bertemulah kami sore ini di foodcourt Golden Truly Mall. Didepanku sudah tersedia es lemon green tea, rujak dan tahu gejrot kesukaan Atien. Sahabat ini memang paling tahu yang kuperlukan.
"Katanya mau cerita kok malah bengong?" Tanyanya lagi membuyarkan lamunanku.
"Ups sori, lagi banyak pikiran," jawabku gelagapan. Beberapa saat aku masih diam, menimbang apa yang harus aku ceritakan.
Mengingat lagi apa yang terjadi dalam rapat evaluasi nilai akhir di sekolah siang tadi membuatku kembali marah. Kemarahan yang terpaksa aku simpan dalam hati karena aku tidak mau membuat suasana rapat semakin panas yang akhirnya akan menyakiti banyak orang. Amarah itu meledak di sini, kutumpahkan semuanya kepada sahabatku yang setia memberikan telinganya untuk mendengarkanku.
"Tenang Ar, tarik napas panjang," kata Atien menenangkanku. Kubuang napas panjang mengikuti anjuran Atien. Plong, dadaku terasa lebih lega.
"Mau mendengar masukanku?" tanya Atien sabar setelah melihatku lebih tenang. Aku mengangguk.
"Apa yang kamu lakukan sudah benar, sudah sesuai dengan tugasmu sebagai seorang guru. Melakukan tugas penilaian sesuai data yang akurat bukan asal menilai. Tetapi satu hal yang juga harus kamu ingat dan tanyakan pada dirimu sendiri, sudahkah kamu melakukan tugas pendampingan dengan benar. Pendampingan yang tepat sesuai yang mereka butuhkan?" Tanya itu memukul mundur diriku. Sudahkah aku menjadi guru yang benar?

************
Puji Tuhan akhirnya selesai juga. Semoga ada yang suka ya..

ARCANE (Yang tak terduga) Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang