I call him Haru (2)

715 71 2
                                    

     Ada apa dengan Haru? Matanya tajam menatapku tanpa berkedip, jujur aku menjadi jengah. Putra dan Bowo ikut menatapku dengan wajah aneh, seperti bukan Putra yang kukenal. Putra adik gerejeku terkenal ramah dan murah senyum. Sebagai yang paling dewasa dari anak-anak, aku bertekad mengakhiri kejanggalan ini.

     "Maaf mengejutkanmu." Haru tersenyum sinis. Sebelum kejengkelanku memuncak, segera kutinggalkan tempat itu untuk melihat pekerjaan anak lainnya. Aku tidak mau Haru gede rasa, merasa diperhatikan. Aku hanya penasaran, pemuda tanggung  itu seperti sengaja memancing emosiku. Mungkin Putra sempat bercerita tentang aku dengan mereka. Lha kok aku malah aku yang gede rasa ya?

      Pelajaran aku lanjutkan dengan membahas peta konsep yang mereka buat. Ternyata belum semua anak mampu membuat peta konsep yang benar, artinya sebagian masih memandang sistem dalam tubuh kita berdiri sendiri bukan sebuah kesatuan.
   
     "Seperti yang pernah kalian pelajari dari SMP,  sistem organ  dalam tubuh kita saling berhubungan sehingga membentuk satu organisme yaitu kita, manusia. Sistem itu saling terkait, saling melengkapi. Coba Haru, tuliskan hasil kerjamu di papan," Haru menatapku sejenak sebelum beranjak mengerjakan tugasnya.

Kenapa Haru yang aku minta maju, karena hasil kerjanya bagus. Kuperhatikan beberapa anak perempuan memandang Haru dengan tatapan kagum, ternyata Haru punya banyak fans.

      "Sudah Bu," katanya menyodorkan spidol. Suara beratnya menyadarkanku yang sedang mengamati gadis-gadis yang malah asyik ngobrol.

      "Oke, sekalian kamu jelaskan maksud peta konsepmu ya?" pintaku lagi. Haru mendengkur, sepertinya dia kesal denganku. Aku bisa melihat itu dari ekspresi wajahnya.

       Aku tersenyum kecil, saatnya pembalasan dendam.   Aku yang harus menjadi sutradara di ruangan ini bukan kamu, kataku dalam hati. Jahat ya, tentu pembalasan lebih kejam daripada tidak membalas.

      Haru menjelaskan simpulannya dengan sangat baik. Aku tersenyum puas mendengar penjelasannya. Ternyata pinter juga, pantaslah kalau sedikit sombong.

      "Bagus Haru, sangat lengkap. Terima kasih, silakan duduk kembali," kataku mengapresiasi hasil kerjanya.

      Tepuk tangan serta merta memecah keheningan yang terasa dari awal kehadiranku ke kelas ini. Dengan wajah angkuhnya pemuda tanggung itu melenggang kembali ke bangkunya.

      Pelajaran kami lanjutkan dengan berdiskusi  tentang hubungan sistem organ yang dibahas Haru tadi dengan materi pertumbuhan dan perkembangan. Anak-anak tampak sangat antusias hingga tanpa terasa 2 jam pelajaran berlalu begitu saja.

      "Baik anak-anak, waktu kita sudah habis. Kita akan lanjutkan besok pagi. Selamat pagi," Aku segera berlalu meninggalkan kelas menegangkan itu. Setelah ini aku masih punya dua kelas. Aku berdoa, semoga anak-anak kelas lain lebih kooperatif dibandingkan kelas Putra.

        Bersyukur doaku dikabulkan Tuhan, dua kelas yang aku masuki selanjutnya anak-anaknya asyik, bener-bener asyik. Pelajaran berjalan lancar, mereka terlihat antusias. Salah satunya kelas IPA 2 yang ada di sebelah kelas Putra.

       Waktu mau pulang sekolah aku dikaget oleh kehadiran Haru di depan ruang guru. Mungkin dia mempunyai janji dengan guru, entah siapa aku tidak peduli. Pemuda tanggung itu menatapku intens tanpa suara. Aku tidak merespon tindakannya. Merasa tidak mempunyai kepentingan dengannya, aku melenggang pergi meninggalkan gedung sekolah kami.

       Aku harus berjalan sekitar 200 meter untuk sampai ke halte. Halte cukup ramai dengan anak-anak dan guru-guru menunggu angkutan umum. Di antara kerumunan orang lagi-lagi aku melihat Haru. Sejak kapan dia ada di sini? Bukankah tadi masih di kantor guru?   

        Abaikan saja, itu tidak ada urusannya denganmu! Sesaat aku kembali melihat kearahnya, hingga tatapan kami kembali bertemu seperti di depan ruang kantor guru tadi. Eh, kenapa melihat ku terus ya?

        Kulihat sekelilingku, mungkin ada yang menjadi obyek perhatiannya. Tidak ada siapa-siapa lagi, mereka sudah nik kendaraan yang baru saja datang. Beruntung, bus yang aku tunggu sudah datang. Aku segera bergerak naik bus, mencari posisi yang  lebih nyaman diantara kumpulan penumpang lain yang sudah berdiri. Sekilas aku menangkap bayangan Haru naik lewat pintu belakang. Lagi-lagi aku tidak peduli.

      Kejadian serupa terjadi lagi dan lagi setiap hari. Dari cerita orang-orang, ternyata arah rumah kami sama jadi wajar saja kalau dia pun naik kendaraan yang sama denganku. Aku biasa turun lebih dulu dan tidak berpikir miring lagi tentang Haru meski di kelas dia tetap berlaku menyebalkan. Hingga sore itu, setelah turun dari bus aku berjalan menuju rumahku. Tiba-tiba seseorang menjajari langkah dan mengagetkanku dengan ucapannya.

      "Mbak Arcane sudah punya pacar?"

           *********
Nah lho.. siapa pula itu?
Tunggu besok ya..

 

     

     

ARCANE (Yang tak terduga) Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang