Don't be stupid

650 47 0
                                    

     "Lo tolol apa bego sich? Ngapain masih nangis untuk laki kayak dia!" Omel Atien kesal.

     Kok tahu ya.. Halah jelas aja, mata bengkakku menjelaskan kenyataan bodoh yang aku lakukan. Apalagi semalam aku menolak ajakannya untuk menikmati malam Minggu di coffeshop favoritnya.

     Pagi ini tanpa pemberitahuan Atien tiba-tiba nongol di kos ku. Tanpa basa-basi, perempuan keturunan Karo itu ngomel-ngomel menyalahkan kebodohanku.  Salah ya berlaku bodoh karena cinta? Cinta, benarkah ini cinta? Bukankah cinta tak harus memiliki?

     "Nangis doang masak gak boleh?" Sungutku membela diri.

     "Nangis doang? Emang tangisan Lo bisa bikin dia balik?" Tanyanya tajam.

Gila bener banget lho omongan bu psikolog, kataku dalam hati. Hanya dalam hati.

    "Harusnya Lo bersyukur terhindar dari jerat laki-laki pengecut macam dia. Tentara kok cemen!"  Omelnya napsu.

     "Eh ati-ati, jangan melibatkan prosfesi. Aparat itu," selaku mengingatkan. Atien melotot kearahku.

     Sikap Kang Tony gak ada hubungannya dengan profesinya sebagai tentara. Ini murni masalah respect seorang anak terhadap ibunya. Bukankah bagus seorang anak nurut sama Ibu yang ngandung dan besarin dia? Batinku masih terus membela keputusan kang Tony meski harus menyakitiku.

       Aku paham yang dipikirkan Atien, ini rahasia ya! Doi juga punya hubungan yang tidak direstui ibunya. Setali tiga uang, sama saja alias senasib sama aku. Enggak ding, Atien lebih beruntung, mereka punya keberanian untuk nekat. Sedang aku? Terpaksa pasrah.

     "Mandi gih, ikut Gue jalan!" Perintahnya lebih lembut. Kubalas ajakannya dengan wajah males.

     "Gak usah banyak alasan, Lo gerejanya sore kan?" todongnya langsung. Memang susah ngomong sama psikolog, tahu banget baca ekspresi orang.

      Setengah terpaksa aku beranjak mandi, berganti pakaian dengan cepat. Kusambar tas ransel kecilku dan mengikutinya meninggalkan rumah kosku.

     Atien mengemudikan mobilnya dengan tenang ke arah Jakarta Selatan. Kami tidak banyak bicara, aku sesekali membuka hp dan melihat wa. Mengharapkan sebuah keajaiban.

     "Mau Lo bolak balik lihat tuh hp, gak bakalan dia wa Lo," sindir Atien sinis.

     Alamak, kemana pula harus kusimpan mukaku ini. Kenapa si Atien selalu tahu apa yang aku pikirkan. Jujur, aku masih berharap ada pesan baru dari kang Tony. Dari pagi belum ada pesan misterius seperti kemarin.

     "Mau kemana sich?" Tanyaku mengabaikan sindirannya. Sebenarnya Aku tidak terlalu peduli kemana dia membawaku. Gak mungkin dia mau culik aku, adanya malah rugi dan rugi.

     "Temani Gue belanja," sahutnya enteng.

     "Atien, kamu gila ya? Ngajak aku pergi pagi-pagi cuma buat nemenin belanja!" Teriakku emosi.

     "Ember, daripada Lo dekem aja di kamar menyesali nasib. Kurang kerjaan kan, mending gue kasih kerjaan," sahutnya santai. Aku mendengkus kesal, kusandarkan tubuhku dengan kasar. Atien malah tertawa lebar, aku diam tak lagi bicara karena percuma melakukan hal itu hanya akan membuatku makin gila.

     Jam 11, Pasaraya Grande masih lumayan sepi. Setelah parkir, kami berjalan masuk Pasaraya.

     "Lo belum sarapan kan? Kita cari makan dulu," ajaknya sambil menggandeng tanganku  menuju foodcourt di lantai ground. Lagi-lagi aku hanya ngikut aja.

      Setelah memesan makanan, kami mencari tempat duduk di pojok. Tak berapa lama, makanan yang kami pesan datang. Bakwan Malang dan es lemon tea  untukku, sedang Atien capucino dan cake entah apa namanya aku tidak tahu. Kami pun makan dalam diam.

                *******
Hari ke 24, agaknya mulai melenceng nich..
Gak papa ya rada gila dikit gegara cowok wkwkwk

Makasih buat yang setia baca, vote dan koment

   

     

   

ARCANE (Yang tak terduga) Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang