My New residence

736 56 0
                                    

     Dan disinilah aku sekarang, di rumah kos ku yang baru. Rumah kos keempat yang kuhuni sejak sekolah. Tentunya rumah yang paling berbeda karena penghuninya para pekerja dengan berbagai bidang pekerjaan. Sore tadi ketika aku masuk rumah kos masih sepi. Oya, ada 12 kamar dalam rumah ini. Delapan kamar di dalam dan empat di luar. Aku memilih yang di dalam. Meski terbilang tomboy, aku tetap mau yang aman-aman saja.

    "Masih sepi mbak, belum pada pulang," kata Lucia saat kami masuk.

    "Malah enak bisa istirahat dulu," jawabku santai.

    "Masnya mau antar tas jam berapa?" Sambl jalan pulang tadi, aku cerita tentang mas Son yang akan mengantarkan baju-bajuku.
    
      "Gak tahu, katanya pulang kerja," sahutku sambil membuka pintu kamar.

     "Yo wis, mbak Istirahat dulu. Aku juga mau tidur,"

     "Oke," Lucia langsung masuk kamarnya. Kurebahkan tubuhku di atas kasur. Panas Jakarta memang tidak bersahabat dan aku belum mempunyai kipas angin. Terpaksa dech panas-panasan dalam kamar. Ada yang kulupakan, aku belum memberi kabar keluargaku kalau sudah pindah ke kos. Kuraih gawai yang tergeletak di lantai dan mulai mengetik pesan untuk mbak Lintang, kakak sulungku.

     Mbak, piye kabar rumah? Hari ini aku sudah pindah dari rumah Lia. Sudah dapat kos dekat sekolah. Titip pesen buat Bapak ya?

     Untuk Bapak terpaksa titip pesan lewat mbakku karena Bapak tidak memegang gawai, di rumah juga tidak ada telpon. Ting... bunyi pesan masuk, mungkin jawaban dari mbak Lintang.

Mbak Lintang
       Puji Tuhan, semua baik-baik saja. Semoga betah di tempat baru. Jaga diri dalam pergaulan dan sikap dengan teman kos. Di rantau temanmu ya saudaramu.

To mbak Lintang
      Siap mbak, akan kuingat pesan itu. Saling mendoakan saja.

     Setelah pesan terkirim aku kembali merebahkan diri untuk istirahat. Baru mau merem, gawaiku berbunyi ada telpon masuk dari mas Son.

     "Iya mas. O sudah di depan kos? Aku keluar sekarang," Aku langsung berlari keluar, mas Son sudah di depan pagar kos.

     "Masuk mas," ajakku begitu pintu pagar terbuka. Mas Son masuk sambil mengangkat tas ku. Matanya beredar mengamati situasi kos ku.

     "Lumayan juga," gumamnya pelan.

     "Apanya yang lumayan mas?"

    "Rumahnya lumayan aman, lega melepasmu di sini. Tapi tetap ingat, jaga diri. Daerah ini cukup rawan," pesannya seperti pada adiknya. Aku mengenal mas Son sejak masih kecil, kami satu gereja. Keluarga kami saling mengenal dengan baik, adik bungsunya teman SD ku, Lia istrinya juga. Jadi wajar kalau dia menganggapku adik.

      "Hidup di Jakarta jangan terlalu polos, harus pinter milih teman. Kalau ada apa-apa kabari aku atau Lia. Sabtu pulang ke Bekasi, itu rumahmu juga," Tangan mas Son mengacak rambutku. Kupaksakan diri tersenyum meski dada terasa sesak.

     "Aku langsung pulang ya, mau lembur hahaha," Tawa anehnya pecah, aku tahu "lembur" yang dia maksudkan.

     "Dasar, ati -ati ya mas. Matur nuwun dah dianterin barangku," ujarku tulus. Dia mengangguk dan segera berlalu. 

     Tidak kusangka hijrah nekatku untuk hidup mandiri di Jakarta diberikan banyak kemudahan. Dipertemukan dengan rekan-rekan kerja yang baik dan peduli. Mendapat tempat tinggal yang baik dan bersih meski berada dalam gang kecil. Mempunyai saudara dan keluarga baru yang menjaga dan melindungiku. Kekuatiranku lenyap sudah. Jakarta akan kutaklukan dirimu, bisikku mantap.

           *******
Puji Tuhan bisa update lagi. Maaf semalam gak fokus nulis karena ada tetangga meninggal. Opung, selamat jalan.

   

ARCANE (Yang tak terduga) Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang