My friend my family (1)

599 56 0
                                    

      Kenangan tentang Haru membunuh mood ku sepanjang sisa hari itu. Mbak Dani sepertinya menangkap perubahan sikapku.
     
       "Kenapa Dik, ada masalah di kelas?" tanyanya dengan gaya lincahnya.

      "Nggak Mbak, nggak ada apa-apa," jawabku tersenyum.

      "Kalau ada masalah kamu bisa cerita sama aku. Jangan sungkan," Dipeluknya aku hangat. Serasa punya saudara baru.

      "Terima kasih mbak," bisikku dalam pelukannya. Airmataku hampir saja mengalir kalau Lucia tidak muncul mengganggu kami.

     "Kenapa? Kelas 3.3 bikin masalah ya?" tanyanya pas banget pada intinya.

     "Gak apa-apa, Arcane hanya kangen keluarganya." Pernyataan mbak Dani menyentilku, kangen keluarga katanya? Betapa bodohnya aku, mengapa harus kangen dengan Haru yang bukan siapa-siapa dalam hidupku?  Stupid, sejak kapan aku menjadi hamba cinta? Benarkah debar yang pernah kurasakan karena Haru adalah cinta? Dangkal banget kamu Arcane, tuduh hatiku.

     "Nanti jadi ke kos nggak?" Lucia kembali bertanya.

     "Jadi dong, kalau cocok aku mau  langsung pindah. Nggak enak merepotkan teman terlalu lama," jawabku mantap.

     "Baiklah kalau begitu, pulang sekolah langsung aja ya." Aku mengangguk setuju.

    Pulang sekolah kami pergi ke rumah kos Lucia, jaraknya hanya sekitar 300 meter dari sekolah. Rumahnya juga enak, masih banyak tanaman di sekitar rumah. Aku heran juga,  ada hunian dalam gang kecil di tengah kota Jakarta mempunyai banyak tanaman di sekeliling rumah. Sangat berbeda dengan rumah di sekitarnya, gersang dan berhimpit. Ukuran kamar cukup besar 3 x 3, 5 meter, untuk hidup sendiri cukuplah.

     "Tiap kamar disediakan kasur, boleh membawa televisi dan kipas angin gratis tidak menambah uang listrik. Tapi kalau bawa rice cooker, kulkas atau lainnya tambah lagi. Intinya hanya dua alat listrik yang gratis," kata cik Cilca pemilik kos.

      "Ada dapur di belakang yang bisa dipakai bersama. Karena dipakai bersama harus saling menghargai, bereskan kembali setelah dipakai," katanya lagi.

     "Ini tempat untuk mencuci dan menjemur. Yang pakai banyak orang juga jadi jaga milik masing-masing, biar gak ribut,"

      "Emang ada yang ribut Cik?" tanya Lucia terlihat iseng.

     "Selama ini sich gak ada, anak kos sini baik-baik," sahut si Cici tersenyum bangga.

     "Yang nggak baik sudah pada kabur," sela Lucia tertawa.

     "Bagaimana suka nggak mbak?" tanya Lucia padaku. Aku yang dari tadi hanya diam mengamati tersentak kaget.

    "Lha kok malah kaget, perasaan dari tadi bengong muluk. Kangen pacarnya ya?" ledek Lucia. Reflek kubalas ledekannya dengan nyengir malu.

     "Oya, ada pembantu yang tiap hari akan datang membersihkan rumah. Tetapi kebersihan kamar dan perkakas ptibadi menjadi tanggung jawab masing-masing. Selesai masak dan makan harus dibersihkan sendiri," Aku mengangguk mengerti. Memang sudah seharusnya begitu kan?

     "Kalau kamu mau, besok kamarnya biar dibersihkan mbak Sum. Kapan kamu mau pindah kasih kabar saja, nanti saya kasih kuncinya. Setiap orang pegang kunci pagar, pintu depan dan kamar sendiri. Pagar depan harus selalu terkunci agar tidak sembarang orang bisa masuk," kata si Cicik tegas.

     "Dan nggak boleh membawa tamu laki-laki ke dalam rumah. Batas aman hanya di teras, betul kan Cik?" Lagi-lagi Lucia ikut menggarisbawahi aturan main dalam kos itu.

Boleh juga aturan yang dibuat untuk mengamankan semua penghuni kos. Aku setuju banget dengan aturan yang dibuat, bapak juga menerapkan kedisiplinan itu kepada kami anak perempuannya.

     "Baik Cik, saya ambil kamar ini,"

    

ARCANE (Yang tak terduga) Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang