Love the Family (2)

521 43 0
                                    

Dari atas becak, aku bisa melihat Bapak duduk di bangku depan rumah. Netra nya mengarah kedatanganku, aku yakin Bapak sudah menungguku. Tapi pasti gak mau ngaku kalau sedang menungguku. Waktu aku masih suka pulang naik bus, Bapak akan menunggu di perempatan tempat pemberhentian bus. Ikut sibuk melihat penumpang yang turun dari bus, akan tertawa lebar begitu melihatku turun. Lalu kami akan pulang bersama naik becak. Bapak tidak pernah jujur sedang menungguku, jawaban klise selalu diberikan padaku.

     "Lagi habis jalan-jqlan mampir ngobrol sama pak Jahi," Pak Jahi adalah tukang becak langganan kami. Pak Jahi yang disebut namanya hanya tertawa.

     Bapak-bapak, apa salah bilang nunggu anak gadisnya pulang dari jauh. Gengsi kegedean. Bapak tidak suka menunjukkan cintanya, tapi aku sangat yakin Bapak mencintaiku.

     "Eh, sudah sampai nduk?" Katanya begitu becak Pak Jahi berhenti. Basa-basi banget ah si Bapak, kataku dalam hati. Kalau sampai terucap bisa digetok kepalaku. Kucium tangan Bapak yang bau rokok. Sebenarnya aku sangat tidak suka bau itu, mau bagaimana lagi beliau Bapakku.

     "Sehat Pak?" Tanyaku saat kami beriringan masuk rumah.

     "Sehat," jawabnya sambil menoyor kepalaku.

    "Aduh sakit Pak!" Teriakku lebay. Bapak tertawa. Bapakku sangat tahu kelebayanku.

    "Kalau mau tidur, buatin dulu Bapak kopi ya," pintaku sadis. Anak baru datang langsung disuruh buat kopi.

    "Gak akan tidur, di kereta sudah tidur nyenyak," sahutku sebelum masuk kamar.

    Setelah meletakkan tas di kamar, aku ke belakang untuk mandi dan membuat kopi.  Rumah sepi, Ibu pasti sedang di pasar, adikku ke sekolah. Di kampungku hari Sabtu anak-anak tetap sekolah. Mbak Lintang sudah menikah dan tidak tinggal di rumah lagi.

     Selesai membuat kopi, kususul Bapak sedang merokok di taman belakang. Bukan taman beneran sich hanya halaman kosong, ada dua kursi kayu dan meja di bawah pohon jambu yang cukup jadi pelindung. Lumayan dipakai sekedar ngobrol di pagi atau sore hari.

      "Kopinya Pak," Kuletakan kopi beraroma wangi di atas meja. Laki-laki satu-satunya di rumah kami itu tersenyum. Rokok yang sedang diisapnya segera dimatikan dalam asbak. Bapak tahu, di rumah aku yang paling tidak suka bau rokok.

      "Kenapa tiba-tiba pulang? Kamu ada masalah?" Tanya Bapak sambil menuang kopinya pada lepek kaca.

     "Gak boleh ya Pak?" Aku balik bertanya. Perlahan Bapak mulai menyesap kopinya. Diletakan lagi gelasnya di atas meja.

     "Bukan gak boleh. Hanya dua hari apa kamu gak capek," sahutnya santai. Badan tuanya disandarkan lalu menatapku hangat.

     "Lupakan yang memang harus dilupakan nduk, akan datang waktunya akan datang yang benar-benar layak buat kamu," kata Bapak pelan tanpa ekspresi. Kok Bapak bisa tahu? Aku gak pernah cerita apa pun tentang Kang Tony.

      "Maksud Bapak apa ya?" Tanyaku tak mengerti arah pembicaraan Bapak. Bapak tahu dari mana ya, tanyaku dalam hati. Sesaat Bapak diam, lalu kembali menyesap kopi buatanku. Kepalanya kembali bersandar, mata Bapak menerawang. Lalu Bapak kembali berujar," Laki-laki itu baik tapi dia bukan untuk kamu. Relakan saja dia pergi,"

     Kutatap Bapakku yang juga kini menatapku dengan lembut. Kok jadi lembut ya? Aku bingung, benar-benar bingung dengan perubahan sikap Bapak.

     Bapak gak tiba-tiba jadi dukun yang tahu nasib orang kan?

            ******
Yes, hari ke 27

Lanjut melencengnya hahhaha

Makasih dah baca, makasih vote nya...
Salam

    
    
     
    

    

ARCANE (Yang tak terduga) Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang