•Bitter Memories 17•

129 23 6
                                    







Beberapa dari mereka berada di lantai 2, benar apa yang di ucapkan Nurvina, mereka bisa melihat hantu-hantu yang tak pernah bisa mereka lihat. Entah karena apa, tapi yang pasti ini sangat mengerikan. Mereka yang dulu nya hanya ada di film-film horor yang mereka lihat, kini ada di depan mata mereka. Menatap mereka tajam seakan akan sudah besiap akan membawa mereka ke alam nya.

"Sekarang gimana?" ucap Nisa dengan nada keputusasaan.

"Entahlah. Tapi yang pasti gue takut banget. Mereka menyeramkan."

Ucapan Natasya benar, beberapa saat lalu di saat mereka menganggap hantu yang mereka lihat itu tidak menganggu ternyata mengganggu mereka. Menarik baju Natasya, menahan kaki Piter, menjambak rambut Satria, bahkan mencakar kaki Nisa.

"Trus kita harus gimana? Gue benar-benar gak kuat lagi. Rasa nya pengen muntah ngeliat mereka yang berwujud menyeramkan seperti itu." ucap Yuni mengendikkan bahu.

"Gak cuma lo, gue juga pengen muntah ngelihat darah dimana-mana." ucap Sofia mendengus kesal.

Dwi, Sofia, Jaina, Nisa, Piter, Natasya, Satria, Adrio, Bambang, Astrella, Yuni, Faris, Mustika, Rendi, Viani dan Aqilla berkumpul di lantai dua, berkumpul di suatu ruang kelas yang sedikit membuat mereka tenang. Walau kenyataan nya hantu itu berada di mana-mana, memperhatikan mereka. Tetapi mereka berusaha tidak perduli, mereka mengistirahatkan diri di dalam sana. Berbaring di lantai kelas yang tidak terlalu kotor, bersama- sama menikmati sisa-sisa hari mereka.

"Kalau emang ini sisa-sisa hidup kita selama hampir 18 tahun kita hidup, dan hampir 3 tahun kita sama-sama, gue minta maaf. Gue ngerasa perlu minta maaf sama kalian sebelum semua nya terlambat. Gue egois, masih sering banget kekanak kanakan, dan suka banget ngerepotin kalian." ucap Viani dengan air mata yang mengalir di sudut mata nya.

"Gue juga ngerasa perlu minta maaf sama kalian. Gue ngerasa bodoh banget." ucap Dwi sambil menutup mata nya.

Mereka semua diam, tak ada yang Bersuara lagi. Beberapa anak perempuan menangis tak bersuara, sedangkan anak laki-laki memilih tidur untuk mengistirahatkan diri mereka, karena benar-benar lelah menghadapi masalah yang kian datang ini.

Salah seorang dari mereka berdiri menatap semua teman-teman nya yang berada di dalam kelas ini. Menatap iba kepada mereka, mereka yang tertidur dengan wajah yang seperti sangat kelelahan. Tetapi amarah tetap lah amarah. Dia menatap Piter dan Rendi dengan tatapan benci, kecewa, marah semua bercampur menjadi satu.

Tangan nya menggenggam pisau yang entah dari mana di dapat ny. Mata nya meneteskan air mata, terasa seperti tak sanggup melakukan nya, tetapi ego nya lagi-lagi menang. Dengan tangan yang bergegar hebat, dia mengangkat pisau nya tinggi, dengan tujuan menikam perut Piter, tetapi suara Nisa mengejutkan nya.

"DWI!!"

Pisau nya jatuh tepat di samping kaki nya , suara teriakan Nisa membangunkan mereka semua yang tertidur. Lalu bertanya- tanya ada apa.

"Kenapa teriak-teriak Nis?" ucap Faris yang masih mengantuk.

Dengan cepat Dwi mengambil pisau yang ada di dekat kaki nya, mengarahkan nya ke Piter yang tidak tau apa-apa. Dia baru saja bangun tidur, bahkan nyawa nya pun belum kembali pulih.

"Kenapa Wi? Hoamm gue masih ngantuk." ucap Piter santai karena tidak tau menahu mengenai apa yang terjadi.

Nisa dengan cepat menarik Piter dan beberapa teman nya mundur menjauhi Dwi yang masih menggenggam pisau di tangan nya. "Dwi berniat bunuh Piter tadi.." ucap Nisa dengan nada bergetar, bahkan keringat di pelipis nya bercucuran.

"Maksud lo Nis?" tanya Natasya bingung, walau sebenarnya dia sudah sedikit paham atas apa yang Nisa ucapkan.

Belum sempat Nisa menjawab pertanyaan Natasya, Dwi dengan cepat melempar pisau nya ke arah Piter yang berada di ujung. Sedikit lagi pisau itu mengenai Piter. Untung nya Piter menyadari arah pandang Dwi yang tak lepas dari dirinya. Dirinya secepat mungkin mengelak, agar pisau tersebut tak tertancap di dada nya. Pisau tersebut mengenai tembok lalu jatuh.

"Kenapa Wi? Kita bisa omongin ini baik-baik." ucap Yuni sambil berusaha menggapai Dwi yang perlahan mundur.

"Ada apa Wi? Lo kenapa? Apa yang Piter lakuin sampai lo mau ngebunuh Piter?"

Lagi-lagi pertanyaan Yuni tak di perdulikan oleh Dwi. Akhirnya kesabaran Sofia pun habis, "Halah udah lah. Lebih baik kita pergi, dan jauh-jauh dari dia."

Dwi mendengus kesal, "Apa pernah ada yang tau gimana benci nya gue sama Piter?!" Dwi menatap teman-teman di depan nya ragu. Lalu tersenyum sinis.

"Dia jadiin gue bahan taruhan sama teman nya yang brengsek itu! Dia nyuruh teman nya nyatain cinta ke gue di depan umum setelah itu dia bilang itu hanya bercandaan! Apa itu lucu?!"

Piter diam, menatap Dwi yang menatap nya benci. "Wi itu gak seperti itu.."

"Halah udah lah. Gue benci sama lo Ter, andai tadi gue sempat untuk ngebunuh lo!"

"Tapi sayang nya gue gak berhasil bunuh lo tadi!!"

Piter menatap Dwi ragu, bahkan semua dari mereka menatap Dwi ragu.
Tak percaya bahwa Dwi berniat membunuh Piter. Dwi anak yang baik, bahkan sangat baik, mana mungkin terlintas di otak perempuan itu untu membunuh seseorang.

"Halah udah lah. Hidup kalian tuh banyak banget sih drama nya. Kenapa semua drama kalian tuh harus berhubungan dengan kematian. Benci tau gak gue." ucap Aqilla ketus. Dengan wajah yang tidak senang, dia berucap tanpa perduli apakah teman-teman nya tersinggung atau tidak.

Piter diam menatap teman-teman nya yang juga diam. Dwi berada di depan pintu kelas yang terbuka, atau lebih tepat nya berada di depan pagar koridor yang tidak terlalu tinggi. Piter memperhatikan Dwi yang sepertinya menahan emosi, atau lebih tepat nya menahan diri untuk tidak membunuh dirinya. Tetapi tatapan jatuh ke perempuan yang berada tepat di kaki Dwi.

Jika perempuan itu menarik kaki Dwi, maka Dwi akan jatuh tepat ke lantai satu. Karena kondisi pagar koridor tidak tinggi, dan Dwi pun sedang tidak dalam kondisi baik. Dengan perlahan Piter berjalan menuju pintu depan kelas, memperhatikan hal-hal yang akan di lakukan perempuan yang terduduk di lantai dengan kaki yang berdarah-darah.

Dengan sekali sentakan perempuan yang terduduk di lantai itu menarik kaki Dwi, Dwi berteriak keras ketika merasakan tubuh nya seperti akan terlempar ke bawah. Dia memejamkan mata nya, dan berfikir bahwa dia sudah tidak ada. Dia sudah mati. Tetapi suara seseorang menyadarkan nya, "Pegang tangan gue erat."

Tepat setelah hantu perempuan tadi menarik kaki Dwi, Piter dengan sigap menarik tangan Dwi yang sudah hampir terjatuh ke bawah, tepat nya lantai satu. Piter berusaha menarik Dwi dengan bantuan Satria dan Rendi.

"Lo gak kenapa-kenapa kan Wi?" tanya Viani dengan wajah khawatir.

Dwi masih tidak sanggup berkata-kata, dia di selamatkan oleh orang yang hampir saja di bunuh nya. Mungkin dia akan mati jika tadi Piter tidak menyelamatkan nya.

"Benaran lo gak kenapa-kenapa?" tanya Astrella kali ini.

"Gue gak kenapa-kenapa. Cuma kaki gue aja memar dikit akibat tarikan tadi, maafin gue." ucap Dwi sambil menundukkan kepala nya, menahan isak tangis.

"Udahlah gak apa-apa."

Mereka membantu Dwi berjalan masuk lagi ke dalam ruang kelas tadi. Berkumpul disana untuk membiacarakan tentang masalah Dwi dan Piter. Tetapi suara langkah kaki seseorang terdengar atau lebih tepat nya langkah kaki orang yang sedang berlari.

Lalu pintu ruangan dibuka,tepat di depan mereka Desty berdiri dengan nafas ngos-ngos an. Berusaha mengumpulkan nafas nya kembali. Dengan air mata yang mengalir di pipi nya deras, isak tangis pun tak dapat di tutup-tutupi.

"Nurvina udah gak ada... Dia mati terbunuh."

Pernyataan itu seakan menghentikan waktu yang ada di sekitar mereka. Seakan membunuh jiwa mereka. Ketakutan yang ada di dalam pikiran mereka terjadi. Ini akhirnya? Kehilangan? Siapa yang harus di salah kan disini?

Bitter Memories√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang