***
Mereka semua berkumpul menatap Didi yang terbaring mengenaskan di lantai. Dengan kepala yang berdarah-darah. Sedih. Itu yang mereka rasakan. Melihat salah seorang teman mereka terluka parah, bahkan beberapa dari mereka pun sudah tak sanggup menahan air mata.
"Didi kenapa sebenarnya?" tanya Nafisah.
"Ya gak tau. Kita kan dari tadi sama-sama di ruang guru. Gak ada yang keluar, bahkan kita gak tau Didi keluar dari ruang guru sendirian." ucap Tasya.
"Kenapa gak ada yang nyadar sih! Tuh kan jadi kaya gini. Sekarang gimana dong." gerutu Dwi.
"Eh jangan nyalahin kita karena gak ada yang nyadar dong! Lo aja gak nyadar kalau Didi keluar sendirian." balas Arinda kesal.
"Apaan sih. Gue gak bilang lo kok, gue cuma ngelampiasin kesal gue aja!"
"Tapi lo seakan akan nuduh kita semua gak becus jagain sesama kita." sahut Arinda kesal.
"Udah lah. Apaan sih, disaat kaya gini berantem." ucap Jaina melerai Dwi dan Arinda yang beradu mulut.
Hafiz berjongkok di depan Didi, niatnya ingin melihat apakah Didi masih hidup atau tidak. Tangan nya bergerak menuju bahu Didi.
"Lo mau ngapain Fiz?" tanya Alif yang masih setia berdiri di belakang Sofia.
"Gue mau lihat, dia masih hidup atau gak." jawab Hafiz sambil menatap Didi sedih.
"Kalau ternyata dia udah mati, sidik jari lo bakalan berbekas di baju dia, dan lo bakalan jadi tersangka pertama setelah kita berhasil keluar dari sini Fiz." ucap Alif tenang.
Mereka semua termasuk Hafiz menatap Alif bingung, kenapa biasa dia jadi tersangka pertama? Karena nyata nya bukan dia pembunuh Didi, itu pun jika Didi sudah mati.
"Loh kenapa? Kenapa Hafiz yang bakal jadi tersangka utama?" tanya Satrio penasaran.
"Iya, kan kita bisa jelasin keadaan kita sebenarnya." lanjut Nisa.
"Apa polisi bakalan percaya? Gak. Kita ini mistis, dan polisi itu realistis. Dia gak mungkin percaya sama yang kita ceritain. Dan dia bakalan tetap nangkap Hafiz karena gue yakin, yang nyelakain Didi gak nyentuh Didi sama sekali. Hafiz bakalan ketangkep kalau dia nyentuh Didi." ucap Alif menjelaskan.
"Benar juga ucapan Alif. Mendingan kita cari cara lain deh buat mastiin dia masih hidup atau gak." ucap Mustika.
"Gue cari kain dulu deh, atau kayu atau apalah buat balikkin tubuh Didi." ucap Faris yang lalu bergegas mencari barang yang di sebutkan nya.
Faris mendapatkan kayu dan kain di dalam ruang guru, dia membawa nya keluar. Melapisi kayu dengan kain, agar tidak ada sidiki jari nya tertempel di kayu yang di gunakan nya untuk membalikkan Didi.
Setelah berusaha membalikkan tubuh Didi, dalam di lihat dagu Didi memar akibat hentakan yang cukup kuat, mungkin di saat dia tersungkur. Dapat di lihat Didi sudah tidak bernafas, Alif dengan hati-hati berjongkok di samping tubuh Didi, lalu mengarahkan jari telunjuk nya untuk merasakan apakah Didi masih bernafas atau tidak.
"Innalillahi. Didi udah gak ada."
Mereka menatap Didi dan Alif tak percaya. "Lo ya-kin Lif?" ucap Fioni terbata.
"Ya lo rasa aja sendiri kalau lo gak percaya. Dia udah gak bernafas." ucap Alif pelan namun tenang.
Faris meletakkan kayu dan kain yang di gunakan nya tadi untuk membalikkan Didi di lantai. Lalu berjongkok di sebelah Alif dan dengan hati-hati juga meletakkan jari telunjuk nya di hidung Didi, "Innalilahi. Didi emang udah gak ada."
Isak tangis lagi-lagi tak dapat di bendung, kehilangan terjadi karena kesalahan mereka sendiri. Kehilangan terjadi karena usul bodoh yang akhirnya menghancurkan segalanya.
"Kita harus bilang apa sama orang tua nya Didi. Gue pasti gak kuat ngelihat wajah orang tua Didi yang kecewa banget sama kita." ucap Dwi yang masih terisak.
"Huftt." Satria menghela nafas panjang,"ya udah lah, mau gimana lagi. Sekarang kita harus gimana?" ucap Satria berusaha tenang padahal hati nya tengah gusar.
"Kita biarin aja disini ya, Didi nya." jawab Nafisah.
"Loh? Jahat banget kita nya. Ini teman kita loh, masa kita biarin di sini aja." ucap Natasya.
"Ya terus gimana? Kita bawa ramai-ramai ke UKS? Dan kita bakal jadi buronan, gue gak mau ambil resiko itu. Gue gak ngebunuh Didi, dan gue gak mau lah jadi buronan." ucap Ajeng.
"Santai dong." ucap Nisa yang menyadari bahwa nada suara Ajeng naik.
"Udah. Kita biarin aja Didi disini, yang harus kita lakuin sekarang adalah nyelesaiin semua masalah kita. Dan kalau masalah kita udah selesai, kita bakalan bisa keluar dari sini." ucap Wisang menengahi teman-teman nya.
Viani mengerutkan dahi nya, wajah nya terlihat sembab karena menangis. "Terus Didi gimana? Masa kita tinggalin di sini?"
"Iya. Kita bakalan tinggalin Didi disini. Senin besok anak kelas 10 dan 11 sekolah, mereka bakalan lihat mayat Didi dan polisi bakalan ngira semua ini gak sengaja. Makanya kita udah harus nyelesaikan semua ini dan pulang hari ini juga sebelum kita ketahuan dan dikira ngerencanain pembunuhan terhadap Didi." ucap Wisang menjelaskan.
"Yaudah deh, sekarang kita mulai permainan nya di lantai dua kan?"
Mereka pun bergegas meninggalkan Didi yang terbaring tak bernyawa di lantai menuju lantai dua tempat permainan akan di mulai.
***
Desty berjalan menuju Didi yang terbaring di lantai depan ruang guru. Desty berhenti di samping teman nya yang sudah tak bernyawa. Dia menatap didi dengan tatapan terluka. "Lo orang baik."
Desty langsung berdiri dan berlalu meninggalkan Didi menuju lantai dua. Untuk menemui Sandra. Membocorkan permainan teman-teman nya yang tak sengaja di dengarnya tadi, sebelum Didi keluar dari ruangan dan sebelum semua nya ini berakhir buruk.
Dia melangkah kan kaki nya dengan mantap menuju Sandra yang duduk di kursi dengan wajah angkuh.
"Kenapa lo bunuh teman gue San?"
"Karena teman lo itu sama sekali gak berguna. Jadi mendingan gue bunuh aja." ucap Sandra santai. Membuat Desty mengeram kesal, tetapi tak dapat melawan.
"San."
"Hahaha. Maaf ya Des, sayang nya bukan gue yang ngebunuh teman lo itu. Bahkan gue baru tau, ahh sayang nya bukan gue yang bunuh. Pasti bakalan seru kalau gue main-main sama teman lo." ucap Sandra lalu terkekeh pelan.
Desty duduk tak jauh dari Sandra, otak nya berfikir keras. Jika bukan Sandra yang membunuh Didi, berarti Liora yang melakukan nya. Dia harus bertindak sebelum semua nya makin parah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitter Memories√
HorrorKenangan pahit? Ya, pahit. Itu yang di alami oleh siswa siswi kelas 12 IPA 3, niat mereka hanya ingin mengenang masa-masa sekolah mereka, sebelum mereka benar benar harus berpisah mengingat ujian akhir sudah selesai. Tetapi malah membuat mereka men...