PART 10

1.5K 179 1
                                    

"Setelah polisi menangkap tersangka pembunuhan yang menewaskan mahasiswi berinisial VR beberapa waktu lalu, kini masyarakat belum bisa bernafas dengan tenang karena telah terjadi pembunuhan kedua. Berlokasi tak jauh dari TKP pertama, kejadian ini di duga masih dengan pelaku yang sama...."

"Sial! Ini terjadi lagi." ucap Fandi geram ketika melihat berita di televisi. Tangannya mengepal kuat, rautnya berubah menjadi marah. Namun ia tetap melihat kelanjutan berita tersebut.

Seluruh channel televisi seolah bekerja sama ketika menayangkan pemberitaan kasus pembunuhan yang baru saja terjadi.

"Sebelumnya polisi telah mengatakan bahwa tersangka yang saat ini ditangkap yaitu Efan, seorang karyawan kafe bukanlah X yang mereka cari selama ini. Kini korban kedua adalah seorang mahasiswi dan memiliki tanda yang sama seperti korban sebelumnya, tusukan di leher, cekikan dan tanda X di telapak kaki. Polisi masih berusaha menyelidiki..."

Klik.

Fandi menekan tombol off pada remote TV nya agar Raina tidak mendengarnya. Namun terlambat karena Raina telah mendengar berita tersebut dan mengintip dari balik pintu kamarnya.

Dan lagi, air mata Raina kembali menetes setelah mengetahui telah terjadi pembunuhan kedua. Ia tak bisa menyembunyikannya, di depan Fandi inilah Raina, dengan segala kekuatannya yang berusaha menyembunyikan kesedihannya, pada akhirnya Fandi akan mengetahuinya juga. Fandi langsung menghampiri Raina dan memeluknya, berusaha menenangkan tangisan adiknya itu.
Gadis itu terisak dalam pelukan kakaknya, berusaha mencari ketenangan.

"Tak apa Rain, kakak ada disini. Jangan takut." ucap Fandi seraya menepuk pelan punggung Raina.

Karena Fandi khawatir dengan Raina, ia lebih memilih terlambat beberapa menit untuk ke bekerja daripada terjadi sesuatu pada adiknya. Di dalam mobil mereka hanya terdiam, terhanyut dalam pikiran masing-masing. Walaupun agak takut tapi Raina berusaha memberanikan dirinya untuk bicara pada Fandi. Ia menoleh ke arah Fandi,

"Kak, bicara soal berita tadi...apakah kasus ini akan terus terjadi? Apakah tidak ada tersangka yang tepat? Aku takut jika peristiwa sembilan tahun lalu kembali terulang." ujarnya sendu dengan menatap Fandi yang sedang menyetir.

Fandi terdiam sejenak, lalu mulai membuka mulutnya dan bicara pada Raina dengan menggenggam tangannya.

"Kakak dan detektif lainnya sedang berusaha Rain. Masalahnya di setiap kasus yang terjadi, tak ada jejak apapun dari si pelaku, jadi kami terkendala. Jangan khawatir Rain. Hilangkan pikiran negatifmu, setidaknya cobalah fokus pada kuliahmu dan teman-temanmu."

Raina mengangguk pelan, kemudian memegang kepalanya dan menepuk pelan dahinya. "Baiklah kak. Semoga saja aku bisa cepat ingat dengan wajah si pembunuh, setidaknya aku bisa membantu kalian."

"Iya, tapi jangan terlalu dipaksakan, biarkan kepalamu itu mengingatnya sendiri." ucap Fandi dengan senyum yang dipaksakan. Ia tak ingin terlihat marah atau sedih di depan Raina. Jadi ia harus tetap mengontrol emosinya saat membahas kasus pembunuhan dengan adiknya.

Setelah mendengar ucapan Fandi, Raina hanya menganggukan kepala sebagai tanda ia mengerti. Raina akan berusaha untuk lebih kuat lagi, setidaknya melawan rasa trauma nya sendiri.

Sesampainya di depan kampus, Raina kebetulan bertemu dengan Jovan di gerbang. Jovan yang melihat Raina diantar oleh Fandi langsung menundukkan kepalanya untuk memberi salam pada Fandi. Melihat itu Fandi langsung berpesan pada Jovan untuk menjaga Raina selama di kampus.

Raina dan Jovan berjalan menuju kelas tapi diantara mereka hanya ada keheningan. Hingga Jovan memulai pembicaraannya. Mereka berbicara dengan suara pelan namun cukup terdengar bagi keduanya. Tatapan mereka tetap ke arah depan tanpa menoleh satu sama lain.

"Rain kau tahu kalau pagi ini-"

"Iya Jov. Korban kedua." sambung Raina cepat sebelum Jovan melanjutkan perkataannya.

"Lokasinya pun tak jauh dari-"

Obrolan mereka seketika terhenti saat sampai di kelas, karena Ersya menghampiri mereka. Ekspresi Raina dan Jovan langsung berubah menjadi biasanya, seolah tak ada yang terjadi. Mereka tau jika Ersya akan heboh sendiri jika mendengarnya.

Tak lama kemudian Pak Wisnu memasuki kelas mereka, awalnya para mahasiswa bingung karena hari ini bukanlah jadwal kuliah Pak Wisnu.

Pak Wisnu memasang wajah sendu seolah sesuatu yang besar telah terjadi. Tatapannya melihat ke arah mahasiswa nya yang nampak sedang menunggunya untuk bicara. Dosen berkacamata itu tampak mengambil napas panjang sebelum mulai berbicara, kemudian mengatakan hal yang sebenarnya tak ingin ia ungkapkan.

"Selamat pagi. Bapak tahu jika hari ini bukan jadwal Bapak, akan tetapi kehadiran Bapak disini untuk menyampaikan berita duka. Tadi pagi diberitakan bahwa pembunuhan kedua telah terjadi. Setelah polisi menyelidiki dan mengidentifikasi mayat korban, ternyata dia...." ucap Pak Wisnu yang memotong kalimatnya.

Para mahasiswa pun mendengarkan dengan seksama setiap kata dari dosen mereka itu, berharap sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi.

Kemudian Pak Wisnu berusaha setenang mungkin dan melanjutkan kalimatnya. "Korban kedua pada pembunuhan yang dibicarakan tadi pagi ialah Dhita Verissa, mahasiswi di fakultas kita. Tepatnya teman kalian yang ada di jurusan lain."

Setelah mendengar kalimat lanjutan dari Pak Wisnu, para mahasiswa menjadi histeris, berteriak karena terkejut dan saling bertanya satu sama lain mengenai berita tersebut. Banyak yang tidak menduga bahwa Dhita akan menjadi korban kedua dalam kasus pembunuhan yang terjadi.

"Bagaimana bisa Dhita menjadi korban kedua?"

"Ini benar-benar diluar dugaan."

"Ini gila. Apakah menurutmu ini menjadi kasus pembunuhan berantai?"

"Psikopat gila itu sungguh bukan manusia! Tega-teganya dia membunuh orang lain."

Para mahasiswa saling berbisik dan membahas masalah ini. Mereka benar-benar marah, sedih, dan bingung karena korban kedua kasus ini adalah teman mereka sendiri.

Setelah Pak Wisnu keluar kelas, Raina juga langsung pergi meninggalkan kelas dan berlari menuju atap tanpa bicara dengan siapapun, baik Jovan maupun Ersya. Ia kembali menangis terisak karena hal yang ditakutkannya menjadi kenyataan, bahwa korban kedua merupakan seseorang yang dikenalnya. Meskipun tidak dekat, namun pelaku membunuh teman satu kampusnya.

Raina menangis dengan kepala tertunduk, pikirannya kembali pada memori sembilan tahun yang lalu. Gadis itu juga mengingat obrolannya dengan Dhita saat kemarin pulang kuliah. Dhita yang ternyata begitu baik padanya, meskipun baru pertama kali mereka bertegur sapa dan mengobrol.

To be continued...

Jangan lupa vote comment nya makasih💙

X dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang