PART 25 - END

2.5K 187 9
                                    

'Human is the true monster in reality. But you can choose to be a human or monster.'

***

Raina terdiam di kamarnya. Sudah hampir tiga jam semenjak pulang kuliah ia sama sekali tidak keluar. Entah apa yang dilakukan gadis itu sendirian hingga betah berada di dalam kamar.

Hari ini Fandi mendapat cuti libur dari kantornya. Bukan hanya Fandi, namun seluruh anggota detektif Tim Satu Unit Kejahatan Berat juga mendapat cuti selama satu minggu. Pak Saga telah mendapat izin dari Kepala Kepolisian bahwa cuti mereka di karenakan telah berhasil menangkap sang pembunuh berantai. Tak hanya cuti, mereka juga mendapat bonus untuk makan malam tim.

Fandi merasa cemas akan keadaan Raina. Gadis itu sama sekali tak bicara dengannya. Setelah pulang kuliah Raina langsung masuk ke kamarnya. Bahkan saat Fandi mengatakan akan menjemputnya, Raina menolak.

Clek..
Fandi memasuki kamar Raina. Ia terkejut karena kamar adiknya sangat gelap. Lampu kamarnya sengaja dimatikan. Fandi terheran dengan sikap Raina. Bagaimana tidak? Raina adalah penakut gelap, sedangkan saat ini kamarnya benar-benar tak ada penerangan sekalipun. Tanpa berpikir lama Fandi menyalakan lampu agar bisa melihat keadaan Raina.

Pria berkaos putih itu mendudukan dirinya disamping ranjang Raina. Gadis itu terbaring dengan tubuh yang tertutup selimut.

"Rain kau tidur?" tanya nya.

Raina berdeham dan membuka ujung selimutnya bagian atas hingga menampakkan kepalanya saja.

"Tidak kak." jawabnya lirih.

"Hei kau kenapa? Menangis?" tanya Fandi yang semakin bingung dengan adiknya.

Mendengar pertanyaan kakaknya, Raina langsung bangkit dari tidurnya dan mendudukan diri. Ia tidak ingin membuat Fandi cemas akan dirinya.

"Kak.." ucapnya dengan suara serak.

"Iya Rain, kau ini kenapa? Matamu sampai sembab begitu. Kenapa menangis?"

Raina menghela nafas dan mengusap air matanya. Ia menatap sebingkai foto yang sedari tadi di peluknya erat.

"Aku...rindu Ayah dan Ibu." ucap Raina sendu dengan air mata yang kembali menetes. Pandangannya masih setia dengan sebuah foto dibalik bingkai kaca. Foto yang berisi empat orang, yang tak lain adalah Ayah, Ibu, Fandi dan dirinya.

Fandi menatap foto yang dipegang Raina. Foto sembilan tahun yang lalu. Foto terakhir mereka bersama. Foto yang diambil ketika sang Ayah mendapat penghargaan sebagai detektif terbaik di tim nya. Foto yang sangat dirindukan oleh Raina. Begitu hebatnya sang Ayah baginya, Ibu nya pun tersenyum bahagia di dalam foto itu. Fandi yang memperhatikan Raina mendadak sedih.

"Rain, kakak kira kau kenapa. Tidak hanya kau, tapi kakak juga merindukan mereka." ucapnya dengan mengelus puncak kepala Raina.

Raina bersender di bahu Fandi. Meluapkan semua perasaan rindunya dengan menangis tersedu-sedu. Tangisannya pecah, dadanya seakan menyempit disusul rasa sesak hingga ia memukul-mukulkan tangannya sendiri di dadanya. Sungguh sakit bila merindukan seseorang yang telah tiada, batin Raina.

Fandi benar-benar tidak tega melihat adiknya menangis. Ia memeluknya seraya menepuk pelan punggung Raina. Ia menenangkannya.

"Rain...jangan menangis seperti ini. Kakak sungguh sedih melihatmu menangis hingga begini."

"Kak..aku.." ucap Raina yang entah apa kalimat selanjutnya. Ia benar-benar tak sanggup berkata-kata.

Selama ini gadis itu hanya memendam nya sendiri. Memendam rasa rindu yang begitu hebat pada orang tuanya. Bahkan Fandi tak pernah melihat adiknya menangis hingga seperti ini ketika merindukan orang tua mereka.

X dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang