PART 22

1.4K 158 2
                                    

Flashback on

Satu hari yang lalu.
Hari kasus keempat terjadi.
Pukul 23:10.

Seorang gadis dengan rok merahnya memakai tas selempang keluar dari sebuah gang perumahan. Ia baru saja selesai mengerjakan tugas kuliahnya. Gadis itu merogoh ponsel pada tasnya, terdapat satu notifikasi pesan dari seseorang yang dikenalnya.

Jovan : "Sya, kau di mana?"

Ersya : "Aku baru saja selesai mengerjakan tugas dari rumah Sasa dan sekarang akan pulang."

Jovan : "Ah begitu. Hati-hati karena ini sudah larut malam. Lewat mana kau?"

Ersya : "Kurasa aku akan memilih jalan tercepat saja, daerah taman bermain yang tak terpakai. Kau tahu kan kalau lewat situ lebih dekat dengan rumahku?"

Jovan : "Iya aku tahu. Kuharap kau berhati-hati Sya. Semoga kita bisa bertemu lagi esok hari."

"Ah laki-laki ini bisa saja." gumamnya.

Ersya memasukkan ponselnya ke dalam tas selempangnya dan melanjukan perjalanannya untuk pulang. Namun ia tak pernah kembali lagi. Karena maksud dari pesan Jovan adalah hanya untuk memberi informasi pada Ayahnya, si psikopat agar bisa menghabisi nyawa sahabatnya sendiri.

Flashback off

*****

Segerombol Detektif dengan total sepuluh orang telah mengepung kampus Raina. Letnan Saga sebagai Ketua Tim memerintahkan anggotanya untuk naik ke atap gedung fakultas Raina dan menyergap pelaku karena dari informasi yang mereka terima bahwa pelaku sedang ada di sana.

DORR!!

Suara tembakan peluru melesat dan membuat mereka yang ada di atap menoleh ke arah suara.

Fandi. Dia menembakkan pelurunya ke udara dengan tujuan membuat pelaku terkejut dan melepaskan Raina.

"Letakkan pisaumu dan serahkan dirimu Pak Dion!"

"Lihatlah, kakak bodohmu telah datang. Apa kau senang?" gertaknya dengan mendekatkan pisaunya ke leher Raina hingga menimbulkan goresan tipis di sana.

Detektif yang lain berusaha membantu Reyhan berdiri dan membawanya ke sisi yang aman. Sedangkan Jovan, ia mendekat ke samping Ayahnya. Rautnya agak panik karena takut tertangkap.

"Lepaskan adikku sekarang! Jika kau berani menyentuh sehelai rambutnya saja, akan kubunuh kau!" teriak Fandi dengan menunjukkan amarahnya. Tangannya menggenggam erat pistolnya, ia siap menarik pelatuknya kapan saja. Ia tak akan tinggal diam jika Raina sampai terluka karena psikopat itu.

"Hei tenang dulu. Melepaskannya? Hahaha, tidak! Aku akan bermain-main dengannya dulu. Apakah aku harus menggores pipi mulusnya ini dengan tanda X? Atau membantunya untuk menyusul kedua orang tua kalian?!" ucapnya seraya memindahkan posisi pisaunya ke wajah Raina. Membuat gadis itu semakin takut dengan air mata yang mengalir deras namun suaranya tertahan.

Fandi yang tidak tahan melihat adiknya tersiksa berusaha melangkah maju.

"Baiklah aku akan menembakmu sekarang juga!"

X dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang