'Mulai saat ini kau bisa jujur padaku, tak usah tersenyum bila tak ingin.'
*****
Raina menghapus air matanya. Ia mulai bisa menenangkan dirinya sendiri. Meskipun kepalanya masih dipenuhi oleh ingatan pada kejadian sembilan tahun lalu, juga membayangkan seorang Dhita yang malang yang harus meregang nyawa karena dibunuh. Sebenarnya ia ingin sekali bertanya bahkan mengobrol lebih dengan Dhita, tapi hal itu sudah tak mungkin lagi.
Raina terlalu fokus pada pikirannya sendiri hingga ia tak menyadari jika ada seseorang yang berdiri di dekat pintu atap memperhatikannya sedari tadi.
"Kau menangis?" tanya seseorang di belakangnya. Raina yang mendengar ada orang lain selain dirinya pun terkejut. Ia tak langsung menoleh, melainkan menarik napas panjang untuk lebih tenang. Ia juga mengkondisikan suaranya yang mulai serak.
"Reyhan? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Raina dengan mata sembabnya setelah menoleh ke arah laki-laki yang berada di belakangnya.
"Memangnya atap ini hanya milikmu? Dan kenapa kau menangis sampai seperti itu?""Ah ya benar juga. Aku hanya ingin menangis saja. Aku...aku hanya teringat Dhita dan..." Raina tak melanjutkan kalimatnya dan kembali menundukkan kepalanya, tak kuasa menahan air matanya.
"Rain, kau tak apa?" tanya Reyhan sedikit khawatir. Laki-laki itu mulai berjalan mendekat Raina, ia berdiri tepat di depan gadis itu.
"Sebenarnya aku juga sangat terkejut bahkan terpukul dengan kejadian yang menimpa Dhita. Terlebih karena dia adalah teman masa kecilku, dan kami baru bertemu sekarang. Siapa yang menyangka kalau kemarin adalah pertemuan terakhir kami." lanjutnya menjelaskan. Pandangannya tak ia arahkan pada Raina.
Raina mendongak, menatap Reyhan lekat. Ia yang mendengar perkataan Reyhan baru saja langsung mengerti mengapa mereka terlihat sangat dekat. Mungkin tangisan Raina belum seberapa dibanding kesedihan Reyhan karena Dhita teman masa kecilnya telah pergi.
Tapi bagaimana bisa Reyhan terlihat baik-baik saja dan tenang? Meskipun matanya terlihat sendu tapi ia tak memperlihatkannya pada orang lain.
Reyhan mengalihkan pandangannya, berganti menatap Raina sendu,
"Kau pernah merasa kehilangan seseorang hingga seperti ini? Sepertinya ini bukan pertama kalinya bagimu untuk menangis seperti tadi."Raina menghela napas, ia tak langsung menjawabnya. Jika ditanya soal kehilangan, rasanya Raina telah paham betul bagaimana rasanya ditinggalkan seseorang yang begitu dekat.
Gadis itu mengangguk pelan, "Iya pernah. Kau tahu kasus pembunuhan berantai sembilan tahun lalu? Yang hingga kini para detektif pun belum dapat menangkap pelakunya."
Reyhan hanya menganggukan kepalanya.
"Sebenarnya kedua orang tuaku adalah korban dari pembunuhan berantai yang terjadi sembilan tahun yang lalu. Dengan pembunuh yang sama, luka yang sama, begitu juga dengan tanda X yang sama." lanjutnya.
Reyhan terkejut, ia menaikkan kedua alisnya, tak menyangka dengan perkataan jujur gadis di depannya.
Kemudian ia menundukkan kepalanya seraya memainkan kakinya sendiri. "Rain, kau tahu apa bagian terlucu dari ceritamu?"Raina menatap Reyhan sinis, "Rey, apa kau gila? Aku bicara serius dan kau malah bertanya bagian terlucunya. Kau benar-benar..." bukannya melanjutkan kalimatnya, Raina malah bermaksud untuk pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
X dan Dia
Mystery / Thriller'Mungkin tak semua orang dapat memahami apa yang kita rasakan. Tak sedikit pula orang hanya ingin tahu, bukannya benar-benar peduli.' Itulah yang dirasakan Raina. Seorang gadis yang memiliki trauma akibat pembunuhan kedua orang tuanya. Sembilan tahu...