Suasana kantor pada ruang Tim Satu Unit Kejahatan Berat sangat kacau hari ini. Mereka seperti sedang dipermainkan dengan pembunuh itu. 'Sialan!' Pikir Fandi dan Reno bersamaan. Mereka merasa seperti seekor anjing yang hanya mengejar ekornya sendiri.
"Bagaimana perkembangan kasus kedua? Dan bagaimana kesaksian keluarganya? Coba jelaskan kronologi kasusnya!" ujar Pak Saga saat datang agak terlambat pada rapat untuk membahas kasus kedua.
"Dhita Verissa seorang mahasiswi. Pada pukul 18:50 ia terlihat di CCTV di depan toko buku Jaya. Setelah itu tidak terlihat lagi. Menurut pengakuan bibinya, ia sempat mampir ke rumahnya dan kemudian pulang pada pukul 22:00. Jika dugaanku benar, maka pelaku sudah menunggu Dhita di lahan kosong untuk membunuhnya. Hasil otopsi akan keluar sore ini." ucap Reno menjelaskan pada rekan-rekannya.
"Apa kau sudah menghubungi orang tuanya?"
Reno mengangguk, "Kita sudah memberi tahu Ibunya dan dosen di kampusnya mengenai kejadian ini."
Di tengah-tengah pembicaraan mereka, tiba-tiba Fandi menyela, "Tunggu, aku merasa ada yang janggal.
Seketika semua detektif yang berada dalam ruangan itu berganti menatap Fandi.
"Apa maksudmu Fan?" tanya Reno.
Pak Saga memperhatikan tatapan Fandi yang sedari tadi mengarah pada foto korban di TKP.Fandi berdiri dari duduknya dan menuju ke papan tulis berwarna putih dengan ukuran yang cukup besar. Papan tulis itu berisi foto korban pada kasus pertama dan kasus kedua. Selain itu juga tertulis kronologi singkat mengenai kasus itu. Tangan Fandi menunjuk foto korban yang diambil di TKP.
"Bagaimana seorang pembunuh bisa membunuh dua kali? Apakah mungkin pembunuhnya dua orang?"Reno mengernyitkan dahinya, ia tak paham dengan maksud Fandi. "Membunuh dua kali? Apa maksudmu?"
"Yang kumaksud adalah luka di leher korban. Apakah korban meninggal karena cekikan atau luka tusukan di leher kanannya? Tidakkah menurutmu ini aneh?" lanjut Fandi.
Semua detektif di ruangan itu seakan harus memutar otaknya saat mendengar ucapan Fandi.
Pak Saga yang mendengar anggotanya sedang berunding pun ikut menanggapi. "Oh ya, apa kalian ingat? Saat Efan tertangkap, ia hanya mengatakan bahwa menusuk leher kanan korban dari belakang. Bekas cekikan ditemukan setelah pembunuhan terjadi. Bukankah berarti..." ucap Pak Saga menggantung.
Para detektif yang mendengarnya masih terdiam, menunggu ucapan selanjutnya dari ketua tim mereka. "X melihat Efan membunuh Vera?" lanjutnya.
"Tunggu-tunggu...jadi maksud Anda si X melanjutkan membunuh Vera yang padahal ia sudah tewas? Begitu?" tanya Reno dengan raut serius. Sedikit demi sedikit ia mulai paham.
Pak Dion yang sedari tadi tak bergeming akhirnya mulai merespon. "Bagaimana jika target si X memang Vera? Tapi Efan terlanjur membunuhnya. Ia merasa harus menyelesaikan pekerjaannya, jadi ia mencekiknya agar terlihat seolah semua itu adalah perbuatannya, bukan Efan."
Reno menyenderkan dirinya di kursi. Ia melipat kedua tangannya di dada, dari serius sekarang ekspresinya berubah santai.
"Yah memang..." ujar Fandi dengan santai.
"Memang apa maksudmu?" tanya Reno.
"Psikopat memang perlu pengakuan untuk setiap aksinya. Jadi dia tidak ingin orang lain mengambil tempatnya sebagai pembunuh. Seperti Efan yang mengambil targetnya." jelas Fandi yakin.
KAMU SEDANG MEMBACA
X dan Dia
Mystery / Thriller'Mungkin tak semua orang dapat memahami apa yang kita rasakan. Tak sedikit pula orang hanya ingin tahu, bukannya benar-benar peduli.' Itulah yang dirasakan Raina. Seorang gadis yang memiliki trauma akibat pembunuhan kedua orang tuanya. Sembilan tahu...