PART 23

1.5K 154 4
                                    

Sebenarnya kapan seorang monster berubah menjadi monster itu sendiri?

*****

BRAKK!!

"Apa kau masih tak mau mengatakannya setelah belasan korban kau habisi nyawanya?!" tanya Fandi dengan suara meninggi dan seiring suara gebrakan mejanya. Rautnya terlihat marah.

Pria di depannya tak memandangnya sama sekali, ia malah menyeringai sambil memainkan borgol di tangannya.

"Hei gila! Apa kau tuli, hah?!" teriak Fandi semakin geram.

"Hmm..borgol ini lumayan berat juga." ucapnya dengan tersenyum seolah tak bersalah dan mengangkat tangannya di hadapan Fandi.

"Hanya seorang psikopat yang puas dan tidak merasa bersalah saat melihat korbannya menderita." tegas Fandi. Ia sungguh merasa marah saat ini, namun berusaha untuk mengendalikan amarahnya.

Fandi berusaha memutar otak, ia harus mengatakan sesuatu agar psikopat di depannya ini mau buka mulut.

Tap..tap..tap..

Fandi berjalan mendekat ke arah Dion, melewatinya dengan sengaja membuat suara sepatunya seolah sedang mengikuti korban.

"5 Maret 2010. Hari di mana kau memulai pembunuhan pertamamu. Vinda, seorang ibu rumah tangga yang tak lain adalah istrimu sendiri. Kau bercerai dengannya karena dia berselingkuh dan kemudian meninggalkanmu. Mulai saat itu kau membenci setiap wanita. Kau berpikir setiap gadis muda yang kau bunuh bisa saja menjadi seperti istrimu. Kau merasa terbebani karena harus mengurus Jovan seorang diri, sedangkan saat itu istrimu malah berselingkuh dengan pria lain." jelas Fandi dengan suara lantang sambil mondar-mandir di depan Dion.

Dion yang mendengar itu sontak bereaksi. Ia mendongak ke arah Fandi yang berdiri dan menaikkan satu alisnya.

Fandi menunjukkan tangan kanannya di depan Dion, membuka setiap jari dalam genggamannya, ia sedang menghitung jumlah korban yang telah dibunuh Dion.

"Ira, Amanda, Gabriel, Anisa, Berlina, Tiyas, Helma, Rifta..." ucapnya terhenti. Fandi menghela napas.

"Devie dan Danang Melviano. Kau pasti mengenal baik mereka semua. Dan tahun ini juga Vera, Dhita, Olivia, dan Ersya." lanjutnya.

Fandi menurunkan tangannya yang ia gunakan untuk menghitung jumlah korban, ia menatap tajam Dion.

"Kenapa dulu kau berhenti setelah membunuh Devie dan Danang Melviano? Apa kau menargetkan kedua orang tuaku sebagai korban terakhirmu? Kupikir psikopat sepertimu tak bisa berhenti membunuh. Apa kau butuh istirahat dalam melakukan aksi gilamu itu?! Begitukah?!"

Dion menutup mulutnya dengan tangan yang diborgol. Ia sedang menahan tawa.

"Jangan diam saja! Hei X jawab aku!" teriak Fandi lagi.

"HAHAHAHA!!" balas Dion dengan tertawa lepas seakan tanpa beban.

Sungguh respon yang gila. Membuat Fandi seketika ingin menghabisinya. Namun ia tahu, berbuat seperti itu hanya akan mempersulit dirinya sendiri. Pembunuh yang ia cari selama sembilan tahun lebih akan lolos dari dunia yang seharusnya mengadilinya, juga si X tak akan pernah menjalani hukuman yang sepantasnya jika ia menghabisinya sekarang. Fandi benar-benar berpikir layaknya seorang detektif pada umumnya, bukan seperti psikopat di depannya itu.

X dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang