PART 18

1.3K 161 0
                                    

"Berani sekali kau gadis kecil! Apa kau tak takut padaku?! Aku bisa saja membunuhmu sekarang." ucap seseorang yang berpakaian serba hitam dengan senyum miringnya.

"Apa yang kau lakukan pada orang tuaku?! Mengapa kau membunuhnya?!" ucapnya takut dan melangkah mundur pelan.

"DIAM! Setelah ini kau yang selanjutnya!" berkata dengan memainkan sebilah pisau yang penuh akan darah.

TIDAAKK!!

Raina terbangun dari mimpi buruknya. Lagi. Keringat bercucuran dari dahinya. Ia mulai mengatur deru nafasnya. Begitu takutnya hingga tubuhnya berkeringat. Juga rasa sesak di dadanya yang mulai perlahan menghilang. Ia memukul-mukulkan tangannya ke kepalanya sendiri. Berusaha mengingat apa yang ada di mimpinya barusan maupun kejadian saat sembilan tahun yang lalu.

Clek..
Pintu kamar Raina terbuka setelah seorang pria tinggi dengan jaket hitamnya membuka pintu itu. Pria tersebut langsung duduk dipinggir ranjang milik Raina, memeluknya dan menyeka keringat di dahinya.

Raina mengambil nafas dan siap bicara pada orang yang masih memeluknya itu, "Kak... sepertinya aku ingat. Ya aku ingat." ucapnya dengan antusias.

"Ingat apa Rain? Kau ini kenapa sampai berkeringat seperti ini." tanya Fandi dengan tatapan bingung.

"Si X. Pembunuh gila itu. Wajahnya agak samar-samar di mimpiku tadi."

Fandi menelan ludahnya seketika. Ia takut jika Raina menyebut Ayah Jovan adalah pembunuhnya. Ia belum siap mengatakan semua ini pada adiknya hingga ia menemukan bukti yang kuat. Terlebih karena Jovan adalah sahabat Raina. Apa gadis itu akan siap mengetahui bahwa selama ini ia bersahabat dengan anak dari pembunuh orang tuanya sendiri.

"Kau sudah ingat? Se-seperti apa dia Rain?"

Raina menatap Fandi lekat, "Tapi kak...kenapa orang itu begitu familiar bagiku. Aku merasa seperti pernah melihat orang ini, tapi aku lupa bahkan bingung siapa orang ini."

"Oh be-benarkah? Tak apa Rain. Pelan-pelan kau pasti akan ingat, jangan terlalu memaksakan nanti kepalamu bisa sakit." ujarnya dengan mengelus rambut adiknya yang sedikit berantakan itu.

Raina hanya mengangguk dan mencoba kembali terlelap. Sedangkan Fandi beranjak dari duduknya.

'Kuharap kau akan siap menerima kenyataan Rain saat tahu siapa pembunuh kedua orang tua kita.' - batin Fandi dan segera keluar dari kamar adiknya.
.
.
.
.

Pukul 23:15.
Sepuluh menit sebelum
kasus keempat terjadi.

Seorang gadis dengan rok merahnya sedang berjalan santai. Ia memainkan ponselnya dan sesekali tersenyum. Raut bahagia terlihat dari mukanya.

'Ah pria ini bisa saja.' -gumamnya saat melihat pesan singkat yang baru saja dibacanya. Ia memasukkan ponsel ke dalam tas selempangnya. Gadis itu mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling jalanan sepi yang dilewatinya. Taman bermain yang terbengkalai dengan penerangan minim membuatnya bergidik ngeri.

TAP..TAP..TAP..
Suara langkah kaki diiringi dengan siulan. Suara itu sontak membuatnya terkejut juga mendadak takut. Ada orang dibelakangnya, dengan pakaian hitam. Ia sempat menoleh ke belakang. Dan benar saja seorang pria bertopi hitam dan sebilah pisau di tangan kirinya.

Sang gadis mulai mempercepat langkah kakinya. Nafasnya mulai terengah-engah menandakan bahwa ia lelah berlari namun pria itu berjalan dengan santai. Ia bersembunyi dibalik pohon dengan tangisan tanpa suara karena ia membungkam mulutnya sendiri dengan tangan.

Bayangan. Itu yang dilihatnya ketika pantulan cahaya dari belakangnya membentuk bayangan. Pria dengan sebilah pisau ada dibelakangnya. Seketika ia menoleh dengan raut putus asa memandang wajah sang pembunuh yang malah tersenyum padanya. Tak berselang lama pria tersebut memukul kepalanya hingga tak sadarkan diri.

X dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang