"APA?! DION?!" teriaknya dengan menoleh cepat ke arah Fandi.
"Ssttt!!!" desis Fandi dengan jari telunjuk menempel pada bibirnya. Alisnya berkerut dan menatap tajam ke arah Reno. Meskipun di ruangan tersebut hanya ada mereka berdua, namun tetap saja mereka harus menjaga ucapan jika tidak ingin dianggap 'gila' seperti tempo hari.Dua detektif muda itu benar-benar terkejut, tak menyangka jika pemikiran mereka kemarin memang benar. Pelakunya adalah senior mereka sendiri. Bahkan Ersya sempat menuliskan angka tersebut menggunakan darahnya sendiri tepat sebelum dia meninggal.
Fandi merebut buku notes yang ada di tangan Reno.
"Kecilkan suaramu bodoh! Bagaimana kalau ada yang mendengar? Kau ingin dianggap gila lagi oleh Letnan Saga?"
Tanpa mereka sadari, seseorang telah mendengar percakapan mereka dan memperhatikan mereka sedari tadi."APA KALIAN BILANG?!" teriak seseorang dengan mata melotot menatap Fandi dan Reno secara bergantian.
Seketika Fandi dan Reno terkejut dan menoleh ke arah suara di belakang mereka. Reno yang merasa suaranya paling keras tadi langsung menutup mulut dengan tangannya.
"P-Pak Saga? Bagaimana anda bisa di sini? Bukankah tadi anda sedang keluar?"
"Apa maksud kalian menyebut nama detektif Dion?"
"Tunggu Pak, kami bisa menjelaskannya, jadi-"
Pak Saga mengabaikan perkataan Fandi dan Reno, ia langsung merebut buku notes yang dipegang oleh Fandi. Ketua Tim itu membaca dengan seksama apa yang tertulis di kertas tersebut.
"Apa ini kode yang dimaksud korban? Apa korban mengenal pelaku jadi dia menuliskan angka ini untuk bisa menjadi petunjuk bagi kita, begitu?" tanyanya dengan pandangan yang masih setia pada kertas di tangannya. Sebenarnya Pak Saga juga belum yakin, namun ia juga tak bisa menutup mata jika kemungkinan pelakunya adalah Pak Dion.
"Sepertinya begitu Pak. Kami juga baru mengetahui tentang hal ini." jawab Reno.
Pak Saga meminta mereka menjelaskan apa saja yang diketahui mereka tentang Pak Dion. Sebisa mungkin ia akan percaya dengan apa yang dikatakan anggotanya tersebut.
Tak perlu waktu lama, Fandi dan Reno menjelaskan mengenai pelaku yang bertangan kidal, pelaku memiliki penyakit parkinson, dan pelaku mengonsumsi obat levodopa. Semua yang dikatakan Fandi dan Reno memang mengarah pada Pak Dion. Mau tak mau sang Ketua Tim berpangkat Letnan ini mempercayai mereka, meskipun sulit karena Pak Dion merupakan rekannya sendiri.
Bukan sekedar rekan, namun Letnan Saga atau akrab disapa Pak Saga ini memang berteman baik dengan detektif Dion. Mereka berteman sudah hampir sepuluh tahun ini. Wajar saja jika tempo hari ia marah ketika dua anggota detektifnya menuduh Pak Dion sebagai X, pelaku pembunuhan berantai sembilan tahun yang lalu maupun kasus saat ini.
*****
Pukul 14:30 di kampus Raina.
Tiga puluh menit lagi mata kuliah terakhir akan usai. Jovan yang duduk di antara Raina dan Reyhan membisikkan sesuatu pada mereka. Jovan mengatakan setelah kuliah selesai, mereka diajak untuk menemui Ayah Jovan karena ada yang ingin disampaikannya katanya. Tentu Raina dan Reyhan setuju-setuju saja. Mereka berpikir jika sesuatu itu merupakan hal yang penting. Lagipula Raina tak mempermasalahkan mengenai siulan yang ia dengar dari telepon Jovan tadi. Ia tak ingin berprasangka buruk dan menuduh Ayah Jovan tanpa alasan dan bukti yang jelas.
*****
Pak Saga kembali ke ruangan rapat setelah mengambil hasil otopsi korban dari forensik. Semua detektif berkumpul dengan raut muka penasaran, kecuali Pak Dion yang sedari siang tak menampakkan dirinya di kantor. Pak Saga membuka map putih yang dibawanya, perlahan ia membaca tiap kata yang tertulis di sana. Hingga sampailah matanya menemukan sebuah kalimat yang membuatnya membelalakan mata.
"Ditemukan DNA di bawah kuku korban. Diduga karena korban mencakar tangan si pelaku. Dan DNA tersebut adalah milik..." Pak Saga mengarahkan pandangannya pada anggotanya yang saat ini menatapnya dengan serius dan penasaran.
Ia mengambil nafas panjang dan berusaha tenang mengatakannya."DNA yang ditemukan adalah milik detektif Dion." lanjutnya.
Semua detektif di ruangan itu begitu terkejut dan tak percaya dengan apa yang dikatakan Letnan Saga barusan.
BRAKK!!
"Apa kubilang?! Benar jika dia pelakunya!" seru Fandi sambil menggebrak meja.
"DNA Pak Dion? Tunggu...bagaimana bisa forensik memiliki perbandingan antara DNA pelaku yang ditemukan dibawah kuku korban dengan DNA Pak Dion?" tanya Gavin mulai merespon.
"Yah...kau tahu aku ahli dalam hal seperti itu." celetuk Reno dengan menepuk dada kirinya sendiri. Ia tersenyum puas. Usaha membanggakan diri.
"Bagaimana bisa Pak Dion si X yang selama ini kita cari? Ini sungguh gila!" ujar seorang pria berkacamata yang duduk di samping Fandi. Ia adalah salah satu seniornya.
Reno tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan untuk mencari sosok Pak Dion. "Tunggu, tapi di mana si X itu?"
Beberapa detektif juga ikut menoleh ke sudut ruangan, mencari sosok detektif Dion.
"Ini gawat. Aku menyuruhnya untuk menanyai tentang korban pada teman-temannya. Kalau begitu mungkin saja dia berada di kampus Jovan, karena ia adalah teman korban."
Sontak Fandi menoleh dan menatap Pak Saga dengan raut marah.
"Apa anda bilang?! Adikku adalah teman Ersya dan Jovan, mereka pasti akan bertemu sekarang. Bagaimana anda bisa menyuruh psikopat itu menemui teman korban tanpa sepengetahuanku?!" tanya Fandi dengan meninggikan suaranya. Ia langsung mengambil kunci mobil di mejanya dan bergegas menuju kampus Raina.
"Kalian ikuti Fandi sekarang! Jangan biarkan dia melakukan hal bodoh. Siapkan senjata kalian. Bergerak sekarang!" perintah Pak Saga dengan tegas.
Tak butuh waktu lama, seluruh detektif di ruangan tersebut langsung mengikuti Fandi dengan membawa pistol masing-masing.
*****
Mata kuliah terakhir telah usai. Raina dan Reyhan mengikuti Jovan menuju ke atap gedung fakultasnya untuk menemui Ayah Jovan. Mereka menunggu sekitar lima belas menit.
Clek..
Pintu atap terbuka dan menampakkan sosok di belakangnya. Seorang pria menggunakan jaket hitam dan topi hitam mulai maju beberapa langkah. Pandangan pria tersebut menunduk ke arah bawah.
Raina dan Reyhan seketika menoleh. Mereka menatap pria berpakaian serba hitam itu berhenti tak jauh dari arahnya. Raina merasakan potongan ingatan yang melintas di kepalanya. Seperti dejavu. Ya, gadis itu teringat kejadian sembilan tahun lalu. Pakaian hitam dan topi hitam yang sama. Ia masih bertanya-tanya tentang sosok tersebut dan berusaha meyakinkan diri bahwa pria asing itu bukanlah Ayah Jovan.
Tiba-tiba sang pria mendongak, menatap Raina juga Reyhan secara bergantian.
Disaat yang sama mereka sungguh terkejut. Melihat penampilan Ayah Jovan saat ini. Benar-benar berbeda dengan penampilan yang Raina temui terakhir kali.
Satu langkah, dua langkah. Raina melangkah mundur seiring dengan langkah maju dari pria tersebut. Kini ia tepat di belakang punggung Reyhan, seolah bersembunyi karena takut. Pria itu berhenti di samping Jovan, dan posisi mereka berada di depan Raina dan Reyhan. Jovan nampak tersenyum tipis tepat setelah Ayahnya mulai melantunkan siulannya. Sedangkan Raina semakin takut. Bahkan Reyhan diam mematung melihat Ayah Jovan bersiul. Siulan khas yang selalu di lantunkannya ketika akan membunuh.
To be continued...
Jangan lupa vote comment nya makasih❤
KAMU SEDANG MEMBACA
X dan Dia
Mystery / Thriller'Mungkin tak semua orang dapat memahami apa yang kita rasakan. Tak sedikit pula orang hanya ingin tahu, bukannya benar-benar peduli.' Itulah yang dirasakan Raina. Seorang gadis yang memiliki trauma akibat pembunuhan kedua orang tuanya. Sembilan tahu...