PART 1

4.5K 280 5
                                    

'Apakah kita harus menjadi monster untuk menangkap monster itu sendiri?'

*****

Suara siulan yang diiringi dengan seseorang yang memainkan pisaunya, memukul-mukulkannya ke meja yang ada di ruangan itu membuat suasana malam itu terasa menakutkan. Di ruangan tersebut tergeletak sepasang suami istri yang sudah tak bernyawa dan bersimbah darah.

PYARR!!

Suara kaca jendela pada ruang tamu rumah Raina pecah hingga membuat Raina terbangun dan segera menuju ke sumber suara. Gadis kecil itu sangat terkejut dengan apa yang ia lihat saat ini. Raina menjerit ngeri melihat darah yang menggenangi ruang tamu rumahnya. Karpet yang ia pijak kini tak lagi terasa nyaman di jemari kecilnya. Rasanya hangat dan lembab karena cairan merah yang keluar dari tubuh kedua orang tuanya.

"AAAAA....Ayah...Ibu...tidaakkk!!" teriakan Raina sontak membuat pembunuh menoleh ke arahnya.
"Berani sekali kau gadis kecil! Apa kau tak takut padaku? Aku bisa saja membunuhmu sekarang!" ucap seseorang yang berpakaian serba hitam dengan senyum miringnya.

"Apa salah orang tuaku?! Mengapa kau membunuhnya?!" tanyanya dengan memberanikan diri meskipun sebenarnya ia sangat takut. Raina mulai melangkah mundur pelan.

"DIAM! Setelah ini kau yang selanjutnya!" berkata dengan memainkan pisaunya yang penuh akan darah.

"Ku-kumohon jangan bunuh aku, pergilah. Aku...aku tak akan melaporkanmu pada polisi atau siapapun." merengek dengan menyatukan kedua telapak tangan di depan dadanya.

"TIDAK! Aku harus menyelesaikan pekerjaanku, aku tak ingin menyisakannya." berjalan mendekat dengan menodongkan pisau.

"JANGAAAN !!"

Kringgg...kringg...kringg

Suara telepon rumah membangunkan Raina dari mimpi buruknya. Mimpi yang selalu sama bertahun-tahun akibat trauma yang di deritanya. Mimpi tersebut mulai muncul saat kedua orang tuanya dibunuh oleh seorang yang ia anggap psikopat sembilan tahun yang lalu. Pembunuhan yang hingga saat ini polisi tak dapat menangkap pelakunya. Pembunuhan yang membuat Raina menjadi takut akan gelap. Untung saja saat itu sang kakak menyelamatkannya. Jika tidak, mungkin Raina sudah meregang nyawa bersama orang tuanya.

Raina berjalan gontai menuju ke sudut ruangan untuk meraih telepon rumahnya.

"Halo?" sapa Raina saat mulai mengangkat telepon rumahnya itu dengan mata sedikit mengantuk.

"Rain ini kakak, jangan lupa kau kunci pintu dan jendela rumah karena malam ini kakak masih ada kerjaan di kantor, jadi kau-" belum sempat Fandi meneruskan bicaranya, langsung disambung oleh Raina.

"Ya kak aku tau, menjadi seorang detektif memang tak bisa terus-terusan tidur di rumah dengan tenang."

"Baiklah gadis pintar, jangan lupa kalung senter mu itu jika listrik padam. Kututup teleponnya ya."

Setelah berbicara dengan kakaknya, Raina merasa tenang dan mulai mengatur napasnya akibat teringat mimpi buruknya. Ia mulai berjalan kembali ke kamar dan memperhatikan jam dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam. Raina berpikir untuk kembali tidur tapi ia takut jika mimpi itu muncul kembali. Akhirnya Raina hanya bermain game di ponselnya hingga ia merasa benar-benar mengantuk.
.
.
.

Keesokan paginya seperti biasa Raina pergi ke kampus menggunakan bus. Raina sempat berpikir kalau dirinya melupakan sesuatu, namun ia sendiri juga tak yakin.

'Ah sudahlah nanti juga akan ingat sendiri' batin Raina.

Tak lama kemudian bus yang akan membawanya ke kampus datang. Raina segera masuk ke dalam bus dan diikuti beberapa penumpang lainnya. Saat akan membayar, ia baru ingat bahwa ia lupa membawa uang yang lebih kecil untuk membayar bus. Yang ada di saku bajunya hanya uang besar bernilai seratus ribu rupiah, saku mingguan yang diberikan oleh Fandi. Ia lupa menukarkan uangnya itu, padahal kakaknya sudah mengingatkannya.

"Maaf pak sebentar..." kata Raina agak ragu-ragu dengan supir bus itu. Dia mencari orang di dalam bus yang kira-kira bisa ia pinjam uangnya. Tak lama kemudian mata gadis itu tertuju pada seseorang yang sedang duduk termenung di kursi bagian belakang. Pandangan laki-laki itu mengarah pada jendela bus dan Raina juga berpikir jika laki-laki itu seusia dengannya.Terbesit di benaknya jika laki-laki itu tampak familiar di ingatannya, namun lagi lagi ia tak yakin. Mungkin saja ia memang pernah melihat laki-laki itu namun tak mengenalnya. Gadis itu memang memiliki masalah ingatan yang agak serius.

Tanpa berlama-lama, Raina berjalan menuju tempat laki-laki itu duduk. "Hei, maaf, apa kau bisa meminjamkan uangmu padaku? Aku lupa membawa uang yang lebih kecil untuk membayar ongkos bus. Akan kuganti nanti saat turun. Kau kuliah di kampus mana?" ucap Raina dengan yakin dan penuh harap.

"Tidak mau." jawab lelaki itu dengan singkat dan santai. Wajahnya pun tampak dingin seakan memang tak peduli dengan ucapan Raina.

"Hei tapi kan aku-"

"Tapi apa?" potong lelaki tersebut dengan cepat. Terlihat dari sikapnya jika ia tak ingin berinteraksi dengan Raina.

Di sisi lain..

"Untuk dua orang." kata seorang lelaki yang baru saja naik.

Mendengar suara khas dari seseorang yang ia kenal, Raina langsung menoleh ke arahnya. "Jovan? Kau naik bus juga?" tanya Raina sedikit heran. Ia menghampirinya saat mengetahui Jovan telah membayar uang bus untuknya.

"Iya, motorku sedang di bengkel jadi aku terpaksa naik bus."

"Oh begitu. Terimakasih ya Jov, akan kuganti nanti di kampus." timpal Raina sambil melirik lelaki dingin yang tadi dengan sombongnya tak mau meminjamkan uangnya. Sedangkan laki-laki itu juga menatapnya datar, seolah tanpa merasa bersalah sedikitpun.

Saat di kampus.

"Hello hujanku, petirku, awanku, cinta....dan hai Jovan, kalian berangkat bersama ya?" sapa seorang gadis sambil memegang sebotol susu pisang di tangannya itu.

Jovan hanya tersenyum dan melambaikan tangan pada Ersya.

"Apa sih Sya, tidak jelas sekali kau ini. Namaku Rain. Raina, bukan hujan, awan, atau petir. Ya tadi kebetulan kami satu bus." balas Raina. Untuk ke sekian kalinya ia menegaskan pada Ersya mengenai namanya. Ia sebenarnya sudah terbiasa dengan sikap Ersya yang memanggilnya seperti itu, namun tetap saja ia meresponnya.

Tiba-tiba seorang laki-laki tampan memasuki kelas mereka dan duduk di belakang Raina. Meskipun kuliah sudah berjalan dua semester, namun Raina jarang melihat laki-laki tersebut. Apalagi Raina adalah gadis yang jarang berkomunikasi dengan orang lain yang tak dekat dengannya.

'Tunggu..bukankah dia laki-laki dingin yang kutemui di bus tadi pagi? Oh Tuhan, kenapa dia harus memilih tempat duduk di dekatku?' batin Raina saat lelaki tersebut mulai mendudukan diri di belakangnya.

To be continued...

Jangan lupa vote comment nya makasih 💙

X dan DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang