Pukul 19:45 di rumah Raina.
Tok..tok..tok..
Suara ketukan pintu membuat gadis yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya menjadi beranjak dari tempat nyamannya. Raina segera membuka pintu. Ia agak terkejut karena Fandi datang bersama orang lain. Pak Dion, yang tidak lain adalah Ayah Jovan dan rekan kerja kakaknya.
Raina mempersilahkan tamunya untuk masuk dan duduk, setelah itu ia pergi ke dapur untuk membuat minum. Sedangkan Fandi masuk ke kamarnya untuk berganti baju.
"Silahkan di minum Pak." ucap Raina ramah dengan segelas minuman di tangannya.
Pak Dion mengambil gelas yang diberikan Raina, "Terimakasih nak. Kau ini temannya Jovan, kan?"
"Iya." balas Raina singkat disertai anggukan kepala. Setelah itu ia pergi ke kamarnya agar Fandi bisa berbicara dengan Pak Dion.
"Bagaimana dengan CCTV di daerah rumah bibi korban?" tanya Fandi seraya mendudukkan dirinya di sofa.
"Tak ada. Menurut pemilik CCTV daerah tersebut, pada saat hari kejadian CCTV nya sedang rusak. Jadi tak dapat merekam apapun." jelas Pak Dion yang kemudian mengambil sebuah botol kecil berisi obat dan meminumnya.
"Apakah anda sakit Pak? Obat apa itu?" tanya Fandi saat berusaha membaca tulisan pada obat itu. Levo... tulisan itu tak terbaca karena tertutup tangan Pak Dion.
"Oh ini? Hanya vitamin saja. Kau tahu kan orang tua sepertiku butuh minum vitamin. Terlebih saat menangani kasus yang saat ini belum ada titik terangnya."
Fandi mengangguk mengerti. "Wah anda harus jaga kesehatan Pak. Mengejar psikopat itu sungguh membuatku muak."
"Oh ya, apakah menurut anda pembunuh tersebut merencanakan tiap pembunuhannya?" lanjutnya. Fandi merasa jika berbicara pada detektif yang lebih senior darinya dapat membuatnya berpikir lebih jauh untuk menangani kasus ini. Terlebih ia banyak belajar dari Pak Dion dan Pak Saga.
Pak Dion berpikir sejenak, "Mungkin saja bisa, atau bahkan tidak. Apa kau sadar? Kedua korban memiliki usia yang tak beda jauh. 23 tahun dan 20 tahun. Apakah pembunuhnya terobsesi dengan seorang gadis?"
"Jika benar maka target selanjutnya bisa jadi adalah seorang gadis juga. Yah setidaknya kita mulai tahu kemana arah kasus ini." ujar Fandi dengan yakin.
Pak Dion menganggukkan kepalanya, ia memiliki pemikiran yang sama dengan Fandi. Gadis muda, berusia sekitar 20-an. Itu yang saat ini sedang mereka pikirkan. Entah hanya pembunuhan secara asal yang kebetulan korban adalah gadis muda, atau memang si pelaku terobsesi bahkan mengincar setiap targetnya.
Rumit namun menantang. Bagi Pak Dion kasus pembunuhan berantai sudah bukan hal yang baru. Namun Fandi? Ini adalah kasus pembunuhan berantai pertamanya semenjak ia ditempatkan pada Tim Satu Unit Kejahatan Berat.
Selama ini ia hanya dihadapkan pada kasus berat seperti pembunuhan yang bisa ia pecahkan bersama Reno. Tapi kali ini butuh tenaga lebih, juga pemikiran mengapa sang pelaku hanya menargetkan seorang gadis. Terlebih ini bisa jadi kasus lanjutan dari kasus yang terjadi sembilan tahun yang lalu. Kasus dimana korban ke-sembilan dan ke-sepuluh merupakan Ayah dan Ibunya sendiri.
Setelah perbincangan panjang mereka, Pak Dion pamit untuk pulang karena khawatir jika Jovan mencarinya.
.
.
.Fandi menyenderkan punggungnya pada sofa ruang tamunya. Ia menuliskan coretan pada buku notes kecilnya. Menuangkan beberapa analisanya pada notes tersebut. Sesekali ia memijat pelipisnya karena berpikir terlaku keras. Ia merasakan hal gila kembali menerpa hidupnya hanya dengan membaca kronologi kasus pertama juga kedua. Memori ingatannya kembali pada masa sembilan tahun yang lalu ketika sang pembunuh melakukan aksinya. 'Para korban dan keluarganya sungguh malang, seperti diriku dulu.' batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
X dan Dia
Mystery / Thriller'Mungkin tak semua orang dapat memahami apa yang kita rasakan. Tak sedikit pula orang hanya ingin tahu, bukannya benar-benar peduli.' Itulah yang dirasakan Raina. Seorang gadis yang memiliki trauma akibat pembunuhan kedua orang tuanya. Sembilan tahu...